Prolog

39.3K 1.2K 14
                                    

Ruangan itu terasa hening. Ada ranjang berukuran sedang yang menghadap langsung ke jendela, juga ada beberapa sofa ditengah-tengah ruangan yang lebih pantas disebut kamar. Sudah sebulan lamanya Fellicia berada di kamar perawatan untuk kelas VVIP di sebuah rumah sakit terbesar dengan peralatan tercanggih di kotanya.

Sebulan yang lalu dirinya mengalami kecelakaan bersama sang kekasih hingga menyebabkan kekasihnya tiada, bahkan kemalangan yang dialami oleh Fellicia tidak berhenti disitu. Wanita muda itu harus menerima kenyataan bahwa sekarang kedua kakinya telah lumpuh. Dia tidak bisa lagi berjalan dengan normal seperti dulu.

Oh Tuhan kenapa kau tidak ambil nyawaku saja dalam kecelakaan itu, agar aku tidak merasakan sakitnya kehilangan seperti sekarang. Lagipula untuk apa aku hidup jika kedua kaki ini saja tidak bisa aku gerakkan?

Berulang kali pertanyaan itu berputar didalam kepalanya.

Perlahan Fellicia menghidu rangkaian bunga mawar segar yang diletakkan didalam sebuah vas di atas nakas. Sengaja dia sendiri yang meminta kepada para perawat untuk selalu menggantinya dengan yang baru setiap hari. Karena hanya dengan begitu Fellicia dapat selalu mengenang Titan--tunangannya yang selalu memberinya sebuket mawar putih setiap hari. Tanpa terasa air mata jatuh dari kedua iris kelamnya. Tidak menyangka kenangan manis itu sekarang malah terasa begitu menyesakkan hatinya. Sekarang Fellicia harus menerima kenyataan yang teramat pahit didalam hidupnya, kehilangan pria yang amat ia cintai untuk selama-lamanya.

Hari ini mamanya mengatakan tidak bisa datang menemaninya di rumah sakit, karena ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Apalagi papanya yang tidak pernah ada waktu sama sekali untuknya. Bahkan sang papa hanya menemuinya sekali selama sebulan dia dirawat dirumah sakit. Fellicia menghela nafas panjang, merasa sedih karena kedua orangtuanya selalu saja sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing, seolah ada dan tiada Fellicia tak penting bagi mereka. Mungkin jika dalam kecelakaan itu Fellicia ikut mati bersama Titan, hal itu tidak akan membuat kedua orang tuanya bersedih karena kehilangannya.

Fellicia menyeka air mata di pipinya yang basah, entah sejak kapan dia menangis. Biasanya selalu ada Titan yang akan menghapus air matanya ketika ia merasa sedih dengan ketidak acuhan orang tuanya, namun sekarang Fellicia harus belajar untuk melakukannya sendiri dengan tidak adanya Titan disisinya.

Sore itu langit terlihat cerah dan Fellicia tertarik untuk ikut menikmatinya dari balik jendela kamarnya. Biasanya ditempat itu Fellicia akan menghabiskan harinya, dengan duduk berjam-jam di kursi roda selama ia berada di rumah sakit. Kebetulan kamar tempatnya dirawat, jendelanya menghadap langsung kearah taman. Tempat dimana banyak penghuni rumah sakit berkumpul, entah itu untuk sekedar melepas lelah atau saling bercengkrama satu dengan yang lain.

Dan sekarang pandangan Fellicia jatuh kepada anak lelaki yang cukup tampan di usianya yang Fellicia perkirakan baru berumur 5 tahun sedang asik bermain bola di taman itu. Beberapa perawat menghampirinya untuk memberinya coklat dan makanan lainnya, yang langsung diterima dengan wajah cerah oleh anak lelaki itu. Seulas senyum muncul di wajah ayu Fellicia saat melihat anak itu nampak kerepotan antara memegang bola dan tumpukan makanan yang sepertinya akan terjatuh sebentar lagi.

Tak lama kemudian datang seorang pria memakai jas warna putih khas seorang dokter menghampiri anak itu. Posisi pria itu yang membelakanginya, membuat Fellicia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi entah kenapa Fellicia begitu tertarik mengawasi interaksi kedua orang tersebut yang nampak seperti ayah dan anaknya. Mata Fellicia tidak bisa berpaling dari pemandangan itu, sikap kebapakan yang dokter itu tunjukan kepada anak itu seketika membuat benak Fellicia menghangat.

Fellicia tersenyum haru saat melihat sang dokter muda itu mengambil alih snack-snack makanan dari tangan kecil anaknya. Namun ketika dokter itu membalik badannya sambil bergandengan tangan dengan si anak, senyum Fellicia memudar.

Wajah itu!

Fellicia terkesiap. Dia mengucek-ngucek matanya seolah tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Namun Fellicia kembali tertegun mendapati bahwa tidak hanya wajah, bahkan senyum pria itu pun mirip sekali dengan Titannya yang sudah tiada.

Repost Mei 2020

Yg suka sama ceritanya, jgn lupa like n komen ya😘😘

Sang PenggantiWhere stories live. Discover now