Bagian 23- Sebuah Pondasi

121 40 66
                                    

Yang katanya hati itu mirip sekali dengan sebuah bangunan; rumah. Dimana manusia bisa tinggal dan mengisi sesuatu didalamnya. Namun hati tetaplah hati, entah itu sebuah organ atau perasaan manusia yang tak pernah terlihat namun selalu menjadi bagian dari diri seorang. Bukannya kalau bangunan harus memiliki pondasi? Lalu pondasi apa yang dimiliki oleh sebuah hati?

"Kamu tahu Bintang? Rumah adalah tempat ternyaman bagi tuan yang akan selalu pulang?"

"Hmmm seperti kamu Key, Tempat aku selalu berpulang."

"Tapi, sebuah rumah dan yang namanya rumah pasti selalu punya pondasi kan? Mungkin kalau aku ini sebuah rumah, aku adalah rumah yang paling mengenaskan. Seperti bangunan yang belum rampung dibangun oleh pemiliknya dan tak layak untuk dihuni. Aku tak berpondasi. Bahkan tak mungkin dapat berdiri."

"Maka jadikan aku sebagai pondasi kamu, Key. Maka itu kita akan menyatu menjadi sebuah bangunan yang kokohkan? Key rumah dan aku pondasinya."

Key bungkam dan Bintang mencoba untuk diam. Hidup Key memang sudah terlalu kelam. Sudah terlalu susah untuk dimasuki karena terus dikhianati oleh semesta. Hatinya penuh dengan kekecewaan atas hidup yang tak pernah adil padanya. Tapi Bintang tak ingin itu terus berangsur, ia ingin Key secerah namanya. Kebencian Key pada semesta hanya akan membuat gadis itu semakin merasa tak diinginkan, membuat hidupnya sendiri dan merasa berjalan pada lembah hitam padahal semesta selalu ingin menujukkan jalan yang indah untukknya.

"Semua itu bukannya kamu sendiri yang mendedikasi, Key?" Key masih tak bersuara. Bintang melirik secangkir kopi yang ada di meja. Obrolan mereka membuat kopi semakin dingin, seperti waktu yang memeluk suasana ini menjadi canggung.

"Kamu sendiri yang tidak pernah mengikhlaskan hatimu untuk dihuni." Bintang menyesap kopinya, rasanya bahkan sudah sangat hambar, tidak ada lagi kepahitan atau rasa manis didalam. Bintang sudah tak mampu merasakan apa-apa. Padahal ia membawa Key ke kedai ini supaya dapat bercengkerama manis hingga sepahit apa kopi yang ia pesan tetaplah terasa manis karena obrolan manisnya dengan Keytasha. Namun sekali lagi, Bintang bukan dewa yang rencana dan harapannya akan selalu berjalan semestinya. Bintang manusia biasa, yang hanya berusaha untuk membuat Key bahagia, sekali lagi hanya untuk membuat Keytasha bahagia.

Entah sejak kapan Bintang menjadi egois seperti ini? Dari dulu ia memang akan mencintai Key dengan tulus walaupun tak dibalas sesuai apa yang telah ia beri pada Key. Bintang menjatuhkan hatinya dan ia siap mendapat resiko jika hati itu akan patah ataupun lebur. Namun tidak terus-terusan begini, jika ternyata memang Key lah yang selama ini menolak, tak mengizinkan hatinya untuk ditempati. Bukan hanya untuknya saja tapi untuk semua orang.

"Kamu akan tahu alasannya Bintang!"
"Apa alasannya, Key? Akan kudengarkan."
"Kamu pasti akan tahu, tapi tidak untuk sekarang." Key bangkit, Bintang sempat melihat samar air mata Key yang sudah menetes sebelum gadis itu benar-benar membalikkan badannya dan pergi dari tempat itu.

"Astaga apa yang aku lakukan!" Bintang bangkit berlari hingga hampir menabrak seorang barista yang sedang membawa nampan. Untung saja secangkir kopi panas diatasnya tidak tumpah, Bintang hanya bisa menangkupkan tangannya dan berkata maaf.

"Hati-hati, Mas." Ucap Barita tersebut yang kemudian pergi.

Bintang keluar dari kedai, namun Key sudah tidak ada. Bintang tidak tahu sebesar apa efek dari perkataannya tadi untuk Keytasha. Tapi yang Bintang tahu, Key terluka. Gadis yang selalu ingin ia jaga senyumnya terluka karena dirinya. Gadis yang rapuh itu, sudah Bintang patahkan karena omongannya yang tak bisa ia jaga. Bintang memang bodoh, dirinya memang brengsek.

"Maafin aku Key, maaf, maaf Keytasha."

🍁🍁🍁

"Cel, Keytasha mana?"
"Gak masuk, Ntang."

AKSARA BUMI (REVISI)Where stories live. Discover now