Bagian 9 - Tangisan Semesta

208 58 98
                                    

Key terus berjalan di atas trotoar yang sudah disediakan. Mengikuti langkah kaki yang enggan untuk membawanya pulang. Padahal awan sudah menghitam, angin yang siap menaburkan air untuk menyiram semesta pun sudah menajalankan tugasnya. Terlihat dari rok coklat juga anak rambut gadis itu yang tak terikat bergerak tak anteng kesana kesini.

Key tetap berjalan tenang. Walau rintik-rintik hujan sudah membasahi kulit putihnya. Tidak berusaha untuk lari ataupun mencari tempat untuk bisa dia berteduh, seakan hujan adalah destinasinya yang harus Keytasha hampiri. Suara-suara riuh dari halte yang menyuruhnya untuk berteduh pun dihiraukannya.

"Anak jaman sekarang, pasti putus cinta mangkanya hujan-hujan kaya gitu." Kata salah satu Ibu yang sedang menunggu bis di halte.

"Udah biasa Bu, jaman kita beda sama anak jaman sekarang." Jawab Ibu satunya lagi.

Key mendengar itu. Ya! Orang-orang memang suka menilai yang dilakukan seseorang hanya dengan sampul yang dia lihat dengan mata. Menilai yang bisa dia pandang sesaat. Seakan semua yang disimpulkan sudahlah yang paling benar. Itulah manusia. Andai saja waktu penciptaan Key bisa protes pada Tuhan. Ia tidak pernah akan ingin dijadikan seorang manusia.

Tidak peduli seragam pramukanya yang sudah basah kuyup dan kaki yang terendam di dalam sepatu hitam. Sesekali Key menyapu air hujan yang mengenai wajahnya.

Key duduk di bawah pohon yang beranting besar. Menenggelamkan kepalanya kedalam lutut yang dia dekap. Tidak ingin apapun lagi, kakinya lemas. Biarlah semesta tertawa dengan keadaannya.

"Keytasha?" Key hanya diam tak bergeming. Sudah sering suara itu muncul dihari-harinya. Halusinasi atau nyata, Key tidak mau tahu itu. Dia tidak ingin memastikan kebenarannya. Ia hanya ingin menangis tenang sekarang.

"Key? Ngapain hujan-hujan?"
"Air hujan gak baik Key."
"Key." Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Bintang lantas memegang pundak gadis yang terduduk melipat kakinya itu.
"Kenapa sih Bintang, kamu selalu ada dimana-mana."
"Aku gak ada dimana-mana Key, aku hanya ada di dekat kamu." Key tak menjawab. Ia lebih memilih memalingkan muka pada cowok yang hanya selalu membuatnya bingung.
"Kamu nangis Key?"
"Gak"
"Matamu merah."
"Kena air hujan."

Berganti Bintang yang diam. Namun dalam diamnya tak mungkin untuk dia tidak melakukan apa-apa. Ia mendekap tubuh Key yang sudah tau pasti akan mendapat penolakan dari gadis itu. Tidak peduli apapun yang akan Key katakan, tidak peduli jika gadis itu akan semakin marah atau tidak suka. Aku tau dia sedang rapuh, aku tau raut tegar diwajahnya hanyalah palsu. Aku tau jika beban itu sedang menimpa kejam ditubuh kecilnya, biarlah izinkan aku mendekapnya sebentar. Merasakan yang ia rasakan. Tolong berpihaklah denganku semesta, pikir Bintang.

"Bintang."
"Iya peri cantik."
"Lepasin."
"Untuk kali ini aja Keytasha. Aku tahu kamu sedang butuh." Key diam, menyadari ucapan Bintang adalah kebenarannya. Key memang sedang butuh itu, sangat butuh, bahkan selalu butuh itu.

"Bintang, kenapa semesta sangat kejam? Kenapa dia tidak pernah menerimaku disini? Apa salahku dengannya? Kenapa dia sangat membenciku? Kenapa Bintang?"
"Kamu salah, Key. Semesta peduli sama kamu. Buktinya, dia mengirim aku untuk kamu. Dia juga menangis saat ini. Tandanya dia turut sedih melihatmu bersedih."
"Kamu juga akan pergi, ketika tau kebenarannya nanti, Bintang. Kebenaran, bagaimana semesta memperlakukanku."

Hahaha Key, lucu sekali pernyataan kamu. Mendengar kamu selalu menolak kehadiranku saja sudah sangat menyakitkan. Apalagi niatan untuk pergi meninggalkanmu? Meninggalkan seorang yang sudah menjadi oksigen di hidupku? Gak akan mungkin Keytasha. Jika iya, berarti aku sudah mati, batin Bintang.

"Enggak akan Keytasha. Sebelum ingin menjadi teman kamu, aku udah tau resiko apa yang akan aku terima. Seperti seribu penolakan yang terkadang keluar dari mulut kamu."

AKSARA BUMI (REVISI)Where stories live. Discover now