Bosan mengamati, Revel yang masih makan lantas menarik ponsel yang bertengger di saku celana kiri. Membuka catatan sebelum mati. Mengabsen satu-satu.

Beberapa di antaranya sudah ia lakukan.

Menyatakan perasaan pada Joy. Ceklis.

Menemui orangtua. Ceklis setengah karena baru sang ayah.

Memakan lima ayam goreng ...

Oke, ini tidak mugkin. Sekarang Revel sudah kekenyangan. Padahal satu ayam saja belum habis. Duh, dasar tolol! Tabungannya tidak terlalu banyak. Untuk apa boros begini? Memang sih tadi menggunakan kupon sebagai potongan harga. Tapi tetap saja bikin jengkel.

Revel masih merutuk. Ia buru-buru menghapus keinginan pertama. Yang tersisa kini hanya berkelahi sampai babak belur, menemui ibunya, dan making love with beautiful girl.

Revel mendesis dalam hati. Kerasukan apa dirinya sampai menulis semua ini? Menemui ibunya masih mungkin. Tapi berkelahi dan making love? Gila!

Tapi, omong-omong soal ML, Revel memang penasaran. Masalahnya hanya satu. Dengan siapa? Ia tidak punya pacar, gebetan pun sudah direbut orang. Jika diukur dari segi kedekatan, Wendy dan Gisel bisa masuk nominasi.

Gisel cantik sih, tapi dadanya rata. Tepos seperti papan triplek. Kalau Wendy lumayan lebih semok, tapi sepertinya bukan pilihan juga.

Eh, tunggu sebentar. Kenapa Revel memikirkan sebegitu jauh? Ah, sial! Revel benar-benar sudah gila karena memikirkan ini.

*
*
*

"Bang, mau gantian nggak?" Wendy bertanya sambil mendongak. Hari sudah petang. Kopi darat Wendy dan Yeriana berakhir satu jam lalu. Sebelum keduanya terpisah, mereka berjanji untuk berkomunikasi nanti malam. Dan mungkin lanjut pertemuan kapan-kapan.

Kini Wendy sudah berada di dalam transjakarta. Duduk manis sementara Revel berdiri. Meski akhir pekan, transportasi umum yang satu ini memang cukup ramai. Memang tidak sepadat jam pergi atau pulang kerja di hari biasa, tapi saat Wendy masuk tadi, tidak ada bangku kosong.

"Nggak usah," jawab Revel pendek.

"Makasih, ya."

"Apaan?"

"Ini." Wendy menggerakkan keresek berisi ayam goreng yang diberikan Revel. Total yang dibeli lima, namun hanya habis satu. Karena Yeriana tidak mau, jadilah Revel membaginya dengan Wendy.

Revel tidak menjawab lagi. Tepat pada saat itu, speaker mengumandangkan informasi halte pemberhentian selanjutnya. Gadis itu lantas bersiap turun.

"Langsung tempatin kursi gue, Bang," bisik Revel pada cowok di hadapannya.

"Hmm."

Pintu transjakarta terbuka diikuti sahutan petugas. Wendy membuntuti tiga penumpang yang bersiap turun. Ia hendak menoleh ke bangku Revel ——dan mungkin melambaikan tangan, namun rupanya waktu tidak mengizinkan. Orang-orang yang sedang mengantri masuk sudah tidak sabar.

Wendy memutuskan untuk melambaikan tangan lewat chat. Ia berjalan menjauhi transjakarta sambil mengaduk tas selempangnya. Karena tidak terasa juga keberadaan si ponsel, ia mulai panik. Berkali-kali ia berguman, Loh, kok, nggak ada? sambil terus mencari.

"Sekali lagi nemuin hape kamu, dapet berlian nih saya."

Wendy berbalik lalu mendongak ke atas. "Bang, kok, turun?"

Revel mengangsurkan benda pipih yang ditemukannya di bangku Wendy.

"Terparah. Makasih lagi, ya." Wendy tersenyum malu. Lesung di pipi kanannya menjorok ke dalam.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang