Bab 37: Not A Fairy Tale

20.6K 905 175
                                    

Dua tahun kemudian ....

"Saya terima nikah dan kawinnya Shalu Yoris Bijani binti Anggar Efendi almarhum dengan mas kawin seperangkat alat salat dan dua puluh gram emas dibayar tunai."

Ucapan sah dari para saksi menggema di ballroom Merlion Hotel and Restaurant yang ditata demikian mewah. Fotografer dan kru dari stasiun televisi yang sengaja diundang untuk hari istimewa itu, berlomba membidikkan kameranya. Lantunan doa kini mengalir dari tiap-tiap mulut semua yang hadir di sana, berharap mempelai senantiasa disatukan selamanya.

Di belakang kursi mempelai yang baru saja berikrar suci, dua orang wanita tampak menyeka air mata. Mereka lantas berpelukan dan saling menumpahkan keharuan.

"Makasih ya, Jeng ... akhirnya kita jadi besanan juga." Tante Mira berkata tersendat di bahu sang sahabat. Mama Shalu menganggukkan kepala, tak mampu bersuara karena terlerai air mata yang terlanjur berderai.

Tak ketinggalan pula di deretan kedua kursi berpita, masing-masing orang tampak menahan rasa haru. Bi Nah yang terlihat semakin sepuh, menyeka ingus di hidungnya dengan sapu tangan. Niken lagi-lagi mengerjapkan mata supaya tidak ikut menangis demi menyelamatkan eye liner-nya. Ratih---kasir di klinik Shalu---tidak berhenti mengabadikan momen sakral tersebut dengan ponsel.

"Ayo, manten, waktunya foto-foto! Dibawa itu buku nikahnya, dipamerin gitu, lho, biar kaya artis-artis femeees!" Seruan tukang potret yang ceriwis menguapkan suasana syahdu yang tersisa usai doa selesai.

"Duh, Mas! Kita lagi live ini, jangan keras-keras kalau mau ngasih instruksi." Salah satu kru kameramen dari stasiun TV merasa terganggu oleh si fotografer, sampai tidak sadar  kalau dia juga baru saja berteriak.

Suasana berubah hiruk pikuk, penuh dengan canda tawa dan ucapan selamat pada kedua mempelai yang terlihat sangat bahagia. Shalu, yang tampak begitu ayu dengan kebaya putih, kain jarik, juga sunda siger-nya lagi-lagi menyusut air mata dengan tisu. Dia tidak peduli kalau riasan karya MUA top tersebut bakal luntur lantaran ulahnya itu. Yang dia tahu, hari ini adalah buncahan kebahagiaan. Dan saat Shalu mencium takzim tangan sang suami untuk pertama kali, dia sadar bahwa bukan hanya hari ini, tapi seterusnya, hidupnya akan diliputi kebahagiaan.

"Duh, Mbak manten jangan nangis terus! Gimana tuh Chef Brahma, dikasih balon atau permen kek istrinya! Kita belum dapat foto yang bagus buat dipajang di akun gosip, lho!" Suara fotografer lagi-lagi menengahi, mengundang decak sebal Shalu.

"Kudu gini banget ya, kalau jadi istri seorang chef femes!" Dia mengerucutkan bibir sembari melayangkan cubitan maut di lengan suaminya.

Sang chef mengaduh, tapi kemudian tersenyum teduh. "Aku rela kok, nahan sakit dan nerima cubitan ini seumur hidup," ujarnya dengan kerling mata menggoda.

*

Setiap sesuatu pasti akan sampai di batas akhir, termasuk untuk rasa cinta dan amarah. Jika cinta bisa usai saat sang pecinta mengembuskan napas pungkasan, maka amarah dapat lebur dengan sebuah kata maaf. Itulah yang dilakukan Brahma pada tantenya begitu mendapat balasan email dari Shalu. Email yang sangat singkat, tapi butuh satu tahun bagi Shalu untuk memikirkan dan menuliskannya.

Kalau lo bisa mencintai gue sampai kapan pun, gue juga bakal nungguin lo sampai kapan pun.

Brahma terkesiap. Masanya telah tiba untuk memperbaiki semua hal yang dia anggap sebagai kesalahan. Maka, satu hari setelah itu dia berangkat dari Pekanbaru ke Jakarta dengan penerbangan paling awal. Dan orang pertama yang ditemuinya adalah Tante Mira. Sebagai satu-satunya wali yang Brahma miliki, dia ingin Tante Mira memberikan restu untuk melamar Shalu. Di luar dugaan, sang tante justru memeluknya erat sekali sambil membisikkan kalimat yang menghangatkan segenap jiwa Brahma.

"Tante akan urus semuanya."

*

"Yang! Dih, ngelamun dia! Sambil senyum-senyum sendiri pula!" Potongan adegan demi adegan di kepala Brahma bagai gelembung balon yang pecah satu-satu karena cubitan kecil Shalu.

Sang chef berbalik, menatap istrinya yang terlihat kepayahan. "Kenapa? Laper lagi?" tanyanya lembut dengan senyum tersungging.

Shalu menganggukkan kepala malu-malu. Seharian ini dia sudah makan sampai lima kali dengan menu campuran yang dimasak Brahma.

"Yang bawaannya laper mulu kan mereka, Yang!" Dokter hewan itu memutar bola mata sambil menunjuk perutnya yang buncit.

Brahma tertawa ringan. Dielusnya perut Shalu yang tengah mengandung janin kembar mereka. Didekatkan wajahnya ke perut yang serupa balon itu, lantas mengecupnya penuh kasih sayang.

"Okay, momy kalian ini emang doyan ngeles. Padahal dia sendiri yang laper, tapi kalian yang dituduh-tuduh."

Cubitan maut Shalu mendarat lagi. Kali ini bukan hanya Brahma yang mengaduh, tapi Shalu juga mengerang.

"Ya ampun, kalian tuh kalau nendang-nendang apa nggak bisa gantian?" serunya, ditingkahi tawa Brahma.

"Itu artinya mereka setuju sama dady-nya, Yang!"

Chef femes bintang dua tersebut mencubit gemas pipi Shalu yang makin chubby, lantas buru-buru lari ke dapur sebelum Shalu kembali menghujaninya dengan cubitan.

-End-

Ya Allah, akhirnyaaaaa
😭😭😭

Aku bingung banget mau nyuguhin scene yang kaya gimana buat ending ini biar kalian nggak ngutuk aku 😂

Semoga teman-teman puas, ya! 😊

Terima kasih sudah membersamai Shalu sama Brahma, udah kasih semangat terus sampai bisa ending tepat waktu, terharu akutuuuh 😭🙏

InsyaAllah setelah ini ada work yang mau aku tulis lagi di wattpad. Teman-teman bisa follow biar nggak ketinggalan, hehe ...

Dih aku bingung sendiri mau nulis apalagi masak saking speechless-nya 😂 Cepet ya, tiba-tiba harus pisahan aja sama mereka 😭

Makasih sekali lagi buat teman-teman, semoga terhibur dengan cerita ini. Laaaaafff kalian! 😍😘❤

Salam spatula
for the last,

Ayu 😊

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now