Bab 24: Rendang

3.8K 421 10
                                    

Bintang kejora berkedip mesra di langit Kota Bogor, menemani Brahma yang sedang termenung di gazebo lantai dua rumah Tante Mira. Angin malam bersemilir pelan, mengusap lembut wajah sang chef yang tampak gusar. Gulungan bulat asap keabuan yang berembus dari mulutnya berpadu di udara, lantas hilang dalam pekatnya kelam. Gazebo ini adalah spot favorit Brahma. Sejak dia masih tinggal di rumah Tante Mira, di sinilah tempatnya menghabiskan banyak waktu.

"Den, dipanggil Ibu." Suara Bi Nah membuat Brahma sedikit terusik. Sepeninggal Shalu tadi dia benar-benar ingin sendiri, memikirkan banyak hal.

"Tante Mira udah pulang, Bi?"

"Sudah, Den. Sekarang lagi nunggu Den Brahma di bawah. Mau ngomong sesuatu katanya," ujar Bi Nah sambil berlalu.

Brahma segera mengikuti abdi sang tante yang sudah sepuh itu. Dari lantai dua dia bisa melihat Tante Mira sedang duduk di ruang santai, mengenakan kimono tidurnya sambil menikmati secangkir sahlab. Pelan tapi pasti, degub jantung Brahma bertalu semakin kencang saat dia menuruni satu per satu anak tangga. Tante tersenyum manis pada Brahma, memberi isyarat agar sang keponakan duduk di sampingnya. Jemarinya yang lentik mengambil cangkir di hadapan, lantas diseruputnya sahlab yang masih mengepulkan uap tipis.

"Lama Tante nggak bikin sahlab sendiri. Hmm, kemampuan Tante masih bisa diandalkan juga rupanya," ujarnya riang.

Sang chef tersenyum takzim. Dia harus mengaku kalah kalau sudah beradu soal hasil olahan tangannya dengan Tante Mira. Baginya, bahan makanan apa pun yang dipegang tantenya ini akan disulap menjadi masakan yang super nikmat.

"Tante tidak akan basa-basi, Brahma. Tante ingin kamu hentikan kursus masakmu dengan Shalu."

Brahma terperangah. Meski dia sudah menebak bahwa obrolannya tidak akan jauh-jauh dari Shalu, rupanya dia belum siap juga untuk mendengar. Berapa lama persiapan yang dibutuhkan supaya dia benar-benar bisa menjauh dari Shalu, terlebih membunuh cintanya pada gadis itu? Sementara semakin dekat masanya kehilangan Shalu, semakin besar pula rasa cinta yang mengembang di hatinya. Upaya pelariannya pada Niken pun sama sekali tidak membuahkan hasil. Yang ada, dia justru menyakiti dua hati; hatinya dan tentu hati Niken.

"Tante dulu yang nyuruh aku buat mulai, sekarang Tante yang nyuruh aku buat hentiin ini juga?" Pertanyaan Brahma hanya retorika.

Tante Mira mengangguk, senyumnya sudah hilang dari raut wajahnya yang ayu. "Tante memang dulu cuma berpikir pendek, mana mungkin Tante mengira kamu juga akan menyukainya? Tante tidak bisa bilang ini ke Shalu, Brahma, tidak ada alasan yang cukup bagus yang bisa Tante katakan. Dia harus sudah mengurus tetek bengek pernikahan, kamu bisa menggunakan alasan itu untuk menolak kemauannya belajar masak denganmu."

"Tante takut Shalu suka sama aku juga, kan?"

Tante Mira membeliak. Ucapan Brahma telak mengenai sasaran. Memang itu yang Tante Mira khawatirkan, mengingat Shalu yang awalnya malas ke dapur menjadi semangat belajar karena Brahma.

"Sudahlah, Brahma. Tante tidak mau lagi debat sama kamu," desah sang tante lirih.

"Asal Tante pegang janji Tante, selama Shalu bakal baik-baik aja dan Evans juga seperti yang Tante bilang ... udah berubah." Ucapan Brahma tercekat di tenggorokan. "Aku bakal lakuin apa yang Tante minta."

"Tante janji, Brahma. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Hidup Shalu akan bahagia. Sekarang saatnya mencari kebahagiaanmu sendiri." Tante Mira menjawab mantap dengan tatapan menghujam.

"Kasih waktu satu kali weekend lagi, Tante. Seenggaknya kasih aku kesempatan buat ngucapin selamat tinggal."

Brahma berlalu begitu saja saat sang tante menganggukkan kepala tanpa bersuara. Meski sadar betul cepat atau lambat dia akan kehilangan Shalu, tapi rasa sesak toh tetap merayapi hatinya. Mungkin keputusan Tante Mira ada baiknya, semakin cepat dia berpisah dari Shalu, semakin cepat pula dia bisa berdamai dengan kenyataan. Semoga. Chef bintang dua itu melajukan motor sport-nya jauh ke utara. Dia ingin sejenak menyepi di pantai, menikmati debur ombak dan berharap gulungan air asin tersebut bisa mengenyahkan rasa cintanya pada Shalu.

*

Shalu. Online.

Kita bikin apa besok, chef?

Brahma is typing ...

[Rendang. Dtg lbh awal ya, butuh wktu lama buat masaknya]

Okay!

Satu minggu berlalu bagai seekor citah yang berlari mengejar mangsa, cepat dan tanpa jeda. Setiap hari Brahma masih berkutat di dapur restoran, dengan sikap dingin Niken yang membuatnya tak nyaman. Sepulang dari restoran dia hanya duduk melamun di balkon apartemen, lalu tidur hingga pagi menjemput lagi. Akhirnya rutinitas yang menjemukan itu membawanya pada saat-saat yang paling tidak dia harapkan: weekend terakhir bersama Shalu.

Sore itu Brahma berangkat ke rumah Tante Mira dengan hati yang sangat berat. Inilah dua hari terakhir baginya untuk bisa menatap wajah Shalu dari dekat. Menikmati senyumnya, mendapat cubitannya, juga mendengar protes dan rengekan manjanya. Shalu, Shalu ... apa maksudnya Tuhan bawa lo sekejap dalam takdir gue, tapi ninggalin luka yang harus gue tanggung entah sampai kapan? Brahma tertawa getir. Mau dilihat dari sudut pandang mana pun, semua terasa tidak adil baginya.

*

"Brahma, gue nye-rah! Lihat bumbunya yang seabrek-abrek gini aja udah puyeng gue!" Shalu berkacak pinggang sambil mencebik sebal. Dari dulu kalau kepengin rendang ya, dia tinggal beli dan makan. Bayangin masak sendiri, mana pernah?

Brahma terkekeh sementara tangannya sibuk memotong daging sapi menjadi bentuk dadu. "Lo tuh harusnya bangga karena Indonesia punya rendang. Lo tahu nggak, menurut hasil polling salah satu web berita di Inggris, rendang asli dari Minang adalah makanan yang paling lezat di dunia. Nggak ada yang nggak doyan rendang, Shalu! Dan terpujilah orang-orang yang bisa masak rendang." Brahma menepuk dadanya dengan bangga, membuat Shalu semakin mendelik menatapnya.

"Serah deh, gue nggak mau lah pokoknya repot-repot bikin ini. Nanti kalau Evans pengin rendang, gue tinggal beliin daripada masak sendiri." Shalu melepas celemek baby pink yang dikenakan, lalu duduk santai di pantry. "Kali ini biar gue belajar secara visual aja. Merhatiin lo. Ya, ya?" rengeknya.

Ya Tuhan, hati Brahma kian mencelus. Mungkin setelah hari ini gue nggak akan pernah lihat wajah merajuk Shalu yang gemesin kaya gini lagi, batinnya getir.

"Oke, Princess. Biarkan chef Brahma ganteng ini yang beratraksi," ujar Brahma, berusaha terdengar riang tapi justru suara paraunya yang keluar.

===&===

Hmm ... sediiiiihhhhh 😭

Maacih yang masih setia ninggalin voment-nya, ya 😍

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now