Bab 12: Sahlab | 2

4.4K 486 39
                                    

Brahma mengambil alih tugas Shalu memasak coto Makassar begitu telunjuk gadis itu selesai dibebat perban. Kecanggungan mengungkung. Sikap rese Brahma hilang sama sekali, dia benar-benar menunjukkan sisi seriusnya. Sementara Shalu juga bingung harus berbuat apa. Masih ada gelenyar aneh di perut saat mengingat Brahma yang menyesap darahnya karena teriris pisau tadi. Entah, perasaan Shalu campur aduk. Tidak dapat dideskripsikan. Mereka berdua lebih banyak diam.

"Hmm, not bad. Cobain Shal." Brahma menyuap hasil coto olahan mereka. Shalu mengikuti. Benar, coto ini enak. Yah, meski masih kalah dengan coto lesehan yang mereka makan kemarin.

"Shal ... gu-gue, minta maaf soal barusan. I swear, itu cuma refleks aja. Gue nggak ada maksud apa-apa." Brahma menatap lekat wajah Shalu. Dia sudah tidak tahan lagi menghadapi suasana serba aneh ini.

Gadis manis itu tersenyum. Perasaannya masih bergejolak sebenarnya. Bukankah sikap Brahma berlebihan untuk ukuran teman?

"Nggak apa-apa. Lupain aja," ucapnya ringan sambil kembali menyuap jeroan.

Brahma mengangguk sekilas, tersenyum kecut. Dia lalu beranjak membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan untuk eksekusi resep kedua mereka hari ini. Sahlab. Minuman khas Timur Tengah yang sudah ada sejak zaman kekaisaran Ottoman, yang memerintah Turki selama empat abad. Di Palestina, Yaman, Mesir, Lebanon, juga Istanbul sahlab adalah hidangan yang wajib ada di meja makan saat bulan puasa.

"Gue pernah nyicip sahlab ini, pas pertama kali ke sini. Tante Mira yang buat kayanya. Lebih mirip puding dan krim gitu ya, chef. Ini sih, bukan minuman kategorinya." Shalu berusaha memecah keheningan sambil membantu Brahma menyiapkan bahan.

"Iya, Shal. Ini emang minuman susu kental yang jatuhnya mirip puding. Lembut dan creamy teksturnya. Kali ini kita buat sahlab panas. Dibuat dingin juga bisa lho, ini." Seperti biasa, Brahma memulai kuliah singkatnya.

Shalu menganjur napas lega karena usahanya berhasil. Suasana perlahan mulai mencair. Dia juga tidak tahan berada di satu frame dengan Brahma dalam kecanggungan. Sejak pertama, cowok ini sudah bisa membuatnya merasa nyaman. Shalu bebas berhaha-hihi menjadi dirinya sendiri. Tanpa jaim. Tanpa ditutup-tutupi.

"Kita pakai tepung sahlab asli, Shal. Tepung ini asalnya dari umbi yang masih masuk dalam genus anggrek orchis. Berhubung tepung sahlab agak susah ditemuin di Indo, kita sebenarnya juga bisa ganti pakai tepung maizena. Perbandingannya tiga banding satu." Shalu menyimak penjelasan Brahma dengan saksama. "Sahlab ini paling banyak ditemuin di kafe-kafe Beirut, Istanbul. Hmm, cocok banget emang sama suasana di sana. Pantes banyak orang yang suka," sambung Brahma, matanya menerawang jauh seolah sedang mengenang sesuatu yang indah.

"Lo kayanya tahu banget, sih. Pernah ke sana, ya?" tanya Shalu. Tangannya sudah sibuk mencampur satu sendok tepung sahlab dengan seratus mili air, lantas mengaduknya.

"Oh, iya. Gue pernah kursus masak di Istanbul." Brahma menjawab sungkan.

Tante Mira memang tidak main-main menyiapkan sang keponakan. Sebelum menjadi executive chef, Brahma banyak diikutkan kursus masak bahkan sampai ke luar negeri. Perancis, Turki, India, Jepang, tidak ketinggalan pelosok-pelosok Nusantara. Tak heran di usia yang masih begitu muda, Brahma sudah meraih bintang dua Michelin dan menguasai resep dalam mau pun luar negeri.

Hal itu juga yang semakin membebani sang chef. Tante Mira sangat banyak berjasa dalam hidupnya. Coba saja hilangkan beliau dari takdirnya, tentu jalan hidup Brahma tidak akan seperti sekarang. Masa lalu dan masa depannya berkelindan hanya pada Tante Mira, diikat atas nama hutang budi.

"Diapain lagi, nih?" Shalu mengagetkan Brahma yang sedang asik melamun. Dia sudah selesai mencampur bubuk vanila dan gula dalam adonan tepung sahlab-nya.

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now