Bab 19: Engagement Day | 1

4.7K 477 29
                                    

Konon manusia mempunyai lima emosi: bahagia, sedih, takut, jijik, dan marah. Kelima emosi itulah yang akan terus mengiringi anak Adam sepanjang perjalanan hidupnya. Ada kalanya takdir membawa insan pada keadaan yang setiap waktu menguras kepedihan atau kemarahan. Lain masa, hidup akan membelenggu manusia dalam rasa takut atau jijik terhadap sesuatu.

Namun, ada satu emosi yang tampaknya paling susah dirasakan oleh makhluk paling sempurna ini; bahagia. Meski orang bijak sering bilang kalau bahagia tidak ada syaratnya, nyatanya hasrat memiliki atau memperoleh suatu objek tertentu sering kali dijadikan patokan untuk sebuah kebahagiaan.

Persis yang saat ini terjadi dalam putaran hidup Shalu. Mempunyai sosok calon suami sempurna seperti Evans harusnya merupakan alasan yang cukup untuk membuat Shalu bahagia. Faktanya, gadis itu justru tidak merasakan emosi apa pun saat Tante Mira mengumumkan rencana pertunangan mereka. Badannya terasa ringan seperti kapas yang kapan saja bisa terbang ke sana kemari ditiup angin.

"A-apa?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia menatap Mama, berharap wanita yang telah membuatnya ada di dunia ini bisa memberikan dukungan mental---mengubah keputusan yang jelas-jelas tidak disetujuinya. Belum.

"Menyegerakan sesuatu yang baik itu bukan hal buruk, Dek."

Sial! Sang mama justru berada di pihak lawan. Shalu sendirian sekarang. Bibirnya berkedut-kedut, pandangannya kosong, dan matanya mulai terasa panas. Lunglai, gadis itu terduduk pasrah di kursi.

"Lihat, Jeng Mira. Shalu sampai syok begitu saking senangnya." Ucapan disertai senyum lebar mamanya membuat Shalu berpikir, ini beneran mama gue bukan sih?

*

Dokter hewan yang malang itu sedang termenung di tempat tidur berkelambunya sambil mengelus-elus Luna. Pikirannya tak bisa lepas dari kejadian tadi siang. Dia seolah menjadi seorang gadis yang direnggut kemerdekaannya.

"Saya sudah benar-benar siap untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi, Tante. Saya akan jamin Shalu bahagia, hidup berkecukupan dengan saya. Apa saya perlu berlutut di sini sekarang juga untuk meminta restu Tante?"

Shalu masih ingat benar bagaimana ekspresi mamanya saat Evans mengucapkan kalimat so sweet itu saat dirinya sedang syok tadi. Mama memekik girang, memeluk Tante Mira, lalu menangis lebay. Shalu benar-benar seperti sedang menonton opera sabun tidak bermutu saat menyaksikan adegan di hadapannya tersebut.

Sementara, atas pernyataan Evans tadi, entah kenapa dia tidak yakin sama sekali. Shalu bukan gadis yang berorientasi pada harta-harta-harta. Evans jelas telah salah menilainya. Dia lebih membutuhkan sebuah penerimaan akan apa adanya dirinya, pengakuan atas semua pencapaiannya, dan kasih sayang---hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Terlepas dari betapa sempurnanya paras Evans, Shalu tetap membutuhkan penghargaan itu agar bisa merasa dicintai.

"Benar, kan, Shalu? Kamu juga nggak keberatan kan, kalau pertunangan kita dipercepat?" Evans menolehkan pandangan ke arah calon istrinya dengan tatapan khas Tante Mira, tatap mata mengendalikan.

"A-aku pikir ... i-ini---"

"Ini bakal berakhir bahagia kaya kisah Cinderella. Kamu udah milih pangeran yang tepat, Babe."

Cinderella gundulmu! Shalu mengumpat dengan bibir terkatup rapat saat Evans menyeringai penuh arti padanya. Diintimidasi oleh tiga orang sekaligus dalam keadaan yang paling tidak berdaya seperti itu, sungguh tidak fair bagi Shalu. Dia yakin apa pun yang dikatakannya sekarang tidak akan mampu mengubah keputusan. Akhirnya, dia hanya memilih diam daripada buang-buang energi.

"Kalau sudah diam begini artinya Shalu mau-mau malu, Evans."

Jawaban mamanya barusan membuat cuping hidung Shalu kembang kempis. Dalam satu helaan napas, dia ingin sekali menyemburkan satu kata: MAMAAAA!!!

*

"Dek, Mama masuk, ya." Suara Mama terdengar masih sama semringahnya seperti siang tadi. Pintu kamar Shalu yang bercat putih itu terdorong ke dalam, bersamaan dengan munculnya batang hidung Mama.

Wanita paruh baya yang hobi shopping tersebut segera menghampiri gadisnya yang sudah sejak sore tidak keluar kamar. Mama masih berpikir kalau Shalu sedang berbunga-bunga sambil menciumi Luna di dalam kamarnya sehabis dilamar Pangeran Evans.

"Kamu kenapa sih, kok lesu begitu? Nggak usah stres sama acara pertunanganmu, kamu nggak perlu ngapa-ngapain, Dek. Tante Mira yang urus semuanya mulai dari gaun kamu, cincin, tempat, sampai menu makanan. Eh, kamu cukup bantu Mama buat mikir tamu dari pihak kita. Siapa aja yang mau kita undang? Kalau Tante Mira katanya cuma mau ngundang keluarga sama kolega dekat." Mama mencerocos panjang lebar, membuat putrinya semakin mual saja.

Shalu menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Kenapa secepat ini sih, Ma? Mama bahkan belum nanya apa aku setuju atau nggak, apa aku benar-benar cinta sama Evans atau nggak," tukasnya lemas.

"Cinta lagi cinta lagi. Kamu ini emang hidup mau makan cinta? Evans punya semuanya, Dek, termasuk cin-ta!" Mama mencubit gemas lengan gadis semata wayangnya sambil berorasi.

"Mama tuh kaya bukan Mama aku, deh. Kenapa sih, jadi Mama yang ngebet banget sama rencana ini? Mama tuh pengin aku bahagia nggak, sih? Kenapa aku nggak dikasih kesempatan mikir dulu kek, salto dulu kek biar waras dikit otakku dan bisa lihat Evans dengan jernih seperti pandangan Mama ke dia. Aku belum ngerasa nyaman sepenuhnya sama dia, Ma."

Kali ini Mama yang mendengus kesal dengan jawaban Shalu barusan. "Gini, ya, sebenarnya Tante Mira ngelarang Mama buat bilang ini ke kamu, tapi nggak apa-apa lah Mama bilang aja." Mama berdeham sejenak sambil mengatur napasnya. "Jadi, alasannya mempercepat pertunangan kamu sama Evans ini sebenarnya karena Tante Mira takut kamu jadi terlalu dekat sama ... siapa itu namanya? Sepupunya Evans itu."

"Brahma?" Shalu memotong tidak sabaran.

"Ah, iya, Brahma. Katanya nggak baik Dek, kalau kamu dekat-dekat dia. Kamu pasti belum tahu ceritanya, kan?"

Shalu menegakkan duduknya. Topik ini mulai menarik dan sial, dia lagi-lagi menjadi orang paling bodoh yang tidak tahu apa-apa.

"Cerita apa, Ma?" Shalu berusaha terdengar baik-baik saja, padahal jantungnya sudah bertalu berkali lipat lebih kencang. Gadis itu menggigit bibir, siap tidak siap mendengar apa yang akan disampaikan mamanya.

"Ya ceritanya dia, kalau bapaknya itu napi seumur hidup, Dek. Tante Mira bilang bapaknya Brahma punya kelainan seksual, terus begituan sama ibunya Brahma sampai ibunya meninggal. Hiii!" Mama memasang ekspresi ngeri sambil mengusap-usap tengkuk.

Ketegangan Shalu agak mengendur, dia pikir Tante Mira akan menceritakan masalah Evans dan Brahma pada Mama. Kalau itu sih, gue juga udah tahu.

"Terus apa hubungannya? Kenapa emangnya aku nggak boleh dekat-dekat sama Brahma kalau bapaknya seorang residivis?" Shalu mencebik.

"Kamu masih nanya, Dek? Mama kira kamu itu pinter kaya Papa kamu, ternyata masih sedikit nurunin dodolnya Mama, ya. Kenapa nggak boleh dekat-dekat, ya karena like father like son."

Kalimat terakhir Mama membuat Shalu terperangah. Benar Tante Mira tega bicara seperti itu tentang Brahma?

===&===

Yuk lah, besok bareng-bareng batalin pertunangannya Shalu sama Evans. Kalian tim batalin atau tim terusin aja sampe sah, nih? 😢

Maacih yang masih stay tune dan ninggalin voment-nya, ya! 😍

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now