Bab 34: Final Decision | 1

6.2K 464 22
                                    

Pergi tak selalu berarti membenci. Kadang ia adalah sebuah usaha untuk menyembuhkan luka.

(The Last Recipe)

Sinar mentari pagi menerobos kisi-kisi ventilasi kamar Shalu. Pancaran cahayanya yang lembut terbias di kaca jendela, menimbulkan penggalan samar yang berpendar-pendar. Pendaran tersebut lalu diteruskan oleh suatu medium penghantar dan jatuh tepat menyentuh pipi Shalu, memperlihatkan dengan jelas lebam-lebam biru-keunguan di sana. Tamparan tangan Evans tak hanya meninggalkan luka menganga di hati Shalu, tapi juga bukti fisik yang cukup untuk memperpanjang urusan semalam ke pihak berwenang.

Pintu kamar bercat putih terbuka, suara deraknya tidak asing lagi bagi Shalu. Langkah-langkah gelisah Mama kemudian menyusup indra pendengarnya, dan terhenti saat kasur busa Shalu membentuk cekungan yang sedikit dalam. Mama telah duduk di tepian ranjang berkelambu, perlahan membelai rambut putrinya semata wayang.

"Dek ... Tante Mira barusan telepon, dia mau ke sini. Mandi gih," ucap Mama lirih. Wanita paruh baya tersebut tahu Shalu yang meringkuk di bawah selimut sudah terbangun---atau justru tidak tidur sama sekali sejak semalam.

Sebagai seorang ibu, dia tentu naik pitam mendapati Shalu pulang dalam keadaan lebam-lebam. Mama bahkan menjerit histeris ketika matanya menangkap sobekan yang cukup lebar di bagian dada dari tunik yang Shalu kenakan. Amarah bercampur ketidakpercayaannya memuncak saat Shalu mengatakan siapa orang yang telah membuatnya seperti ini. Evans. Calon menantu sempurna yang selalu dibangga-banggakan.

"Mama ambilin sarapan ya, Dek. Susu sama roti bakar selai strawberry kesukaanmu. Habis itu kamu mandi."

Tepat di ujung kalimat Mama, bel pintu terdengar berbunyi nyaring. Setelah mengelus bahu putrinya, wanita itu beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang. Kedua matanya memicing begitu mengetahui sosok yang berdiri di depan pintu rumah; sang calon besan dan calon menantu. Mama memutar kenop pintu dengan perasaan ragu.

"Jeng ..." Tante Mira, seperti biasa memberikan peluk dan cipika-cipikinya meski kali ini terasa berbeda. Ada sorot mata lelah dan bingung di sana, bertentangan dengan sorot kepercayaan diri yang biasa terpancar.

"Tan-te." Evans menyapa sembari meraih tangan sang calon mertua untuk bersalaman.

Sayang, Mama yang sudah terlanjur sakit hati menampik tangan Evans tanpa basa-basi.
Kecanggungan serta merta mengungkung. Tanpa berkata-kata, Mama mempersilakan kedua tamunya untuk duduk. Kelopak mata Mama menyipit menatap Tante Mira, seolah menuntut penjelasan tentang apa yang sudah terjadi semalam pada putrinya.

"Begini, Jeng." Tante Mira memulai percakapan sambil membenahi duduk. "Saya sama Evans ke sini tujuan utamanya tentu saja untuk membahas pernikahan anak-anak kita, juga untuk ..." dia berdeham sejenak, "minta maaf sama Shalu dan Jeng Desi soal kejadian semalam. Mungkin Jeng Desi sudah mendengar ceritanya dari Shalu. Saya, atas nama saya sendiri dan keluarga minta maaf betul-betul atas sikap Evans ini."

Mama menggeleng pelan sambil meremas jari-jemarinya. "Saya cuma nggak percaya saja kalau Evans bisa berbuat seperti itu," ujarnya dingin. "Bisa kamu kasih penjelasan ke Tante, Vans? Kalau saja bukan kamu, Tante nggak ragu-ragu buat laporkan hal ini ke pihak berwajib sekarang juga," seloroh Mama, sorot matanya nyalang dan tegas.

"Sa-saya ... oke, Tante, semalam saya memang lagi nggak sadar. Di bawah pengaruh alkohol." Evans menjawab singkat dengan wajah tertunduk dalam.

"Alkohol? Kamu minum?" Mama membeliak, mulutnya ternganga. Hal tersebut sama sekali tidak terlintas dalam pikirannya.

Tante Mira yang merasa suasana kembali tegang, bergegas mencari jalan tengah untuk menyelamatkan keadaan.

"Jeng, Evans ini hidup di London. Kita semua tahu mengonsumsi alkohol sudah jadi life style orang sana. Ya, buat menghalau dingin pas winter tiba. Itu bukan hal yang sangat besar dan nggak perlu dipermasalahkan, Jeng," ucap Tante Mira, senyumnya kikuk.

"Tentu jadi masalah kalau akhirnya membahayakan orang lain seperti ini, Jeng Mira! Lagi pula ini Indonesia, jangan lah disamakan dengan London. Evans harusnya bisa menempatkan diri!" Suara Mama melengking. Alasan sang calon besan terasa tidak masuk akal dan kelihatan sekali hanya untuk menutup-nutupi aib putranya sendiri.

"Baiklah, saya mengerti benar kalau Jeng Desi tidak terima dengan perlakuan Evans. Saya juga menyesal sekali, sudah saya marahi habis-habisan anak ini. Saya sungguh berharap kejadian semalam tidak berpengaruh apa-apa pada acara kita, Jeng. Undangan sudah disebar." Tante Mira mendesah putus asa. "Lagi pula, ada satu hal yang luput dari penilaian Jeng Desi. Shalu nggak cerita?"

Mama mengedikkan bahu. Cerita apa?

"Tante ... se-sebenarnya saya nggak akan kasar seperti itu sama Shalu kalau saja Brahma nggak muncul tiba-tiba. Kedatangannya bikin saya kalang kabut sehingga pengaruh alkohol makin bikin saya nggak terkendali. Saya nggak sengaja ngelakuin itu. Mana mungkin saya bisa berlaku kasar sama Shalu, Tante? Dia calon istri saya. Saya sayang sekali sama dia."

Penjelasan Evans membuat Mama mengernyitkan dahi. Ingatannya berputar lagi pada kejadian semalam, saat Shalu menyebut bahwa Brahma lah yang mengantarkannya pulang.

"Brahma datang tiba-tiba? Kok dia bisa tahu? Maksudnya kok bisa pas datang gitu lho," tanya Mama dengan nada bimbang.

"Itu lah Tante yang bikin saya heran. Kok Brahma bisa datang? Saya duga dia yang punya rencana nggak baik sama Shalu. Mungkin dia tahu kalau semalam Shalu ke rumah buat fitting, dan dia juga tahu kalau saya ada di Merlion. Kami memang sempat ketemu sebentar kemarin. Brahma pasti punya maksud jelek sama Shalu karena sia ngerti kalau rumah lagi sepi. Dan karena sa-saya ... sedikit mabuk, dia mencari kesempatan buat jadi sok pahlawan di depan Shalu." Evans menyugar kasar rambutnya, menunjukkan ekspresi marah saat menyatakan asumsinya.

Melihat calon besan yang sudah berada di ambang keraguan, Tante Mira tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera menambahi cerita Evans dengan menggebu-gebu, seolah tidak pernah mengenal sang keponakan yang sejak dulu dirawatnya itu. Tanpa mereka semua tahu, Shalu sudah berdiri di belakang tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Air mata menggenang---mengaburkan pandangannya--- saat mendengar semua yang diceritakan Tante Mira tentang Brahma.

Semua ini emang udah nggak bener dari awal! Shalu menyusut butiran air mata seraya mencengkeram erat dadanya, seolah akan ada tangan monster yang merenggut jantungnya dari sana.

===&===

Hai, ada yang nyariin atau nungguin? Hehe, maaf kemarin emang absen soalnya agak susah nulis kalau weekend, kudu momong swamik *eh! 😅

Hari ini update dua kali insyaAllah. Makasih yang masih stay 😍 Kasih voment yaaa, lima hari lagi ending, nih (harusnya) 😂

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now