Bab 18: Surprise | 2

4.2K 442 20
                                    

Shalu bergegas menyambar handuknya dan lari ke kamar mandi. Dalam hati gadis itu menggerutu kesal pada sang mama, juga pada Tante Mira. Kedua wanita ini telah sukses mengacak-acak hidupnya satu bulan terakhir. Shalu menggosok gigi sembari bercermin saat pikirannya melayang pada kejadian tak terduga semalam. Kehadiran Evans yang tiba-tiba dengan kesempurnaannya yang membuat Shalu terpesona. Dia jadi senyum-senyum sendiri dengan mulut belepotan odol.
Namun, keningnya mengernyit saat mendapati reaksi Evans dan Brahma saat keduanya bertegur sapa. Brahma yang tergesa meninggalkan rumah Tante Mira semalam tanpa berucap sepatah kata pun pada Shalu, seburuk itukah keadaannya?

Gadis itu membuka lemari pakaiannya lebar-lebar, mencoba menemukan gaun yang pas. Selama ini dia lebih suka berpakaian santai, setelan skinny jeans dan atasan seperti blus atau kaus feminim. Gaun hanya sesekali dipakainya pada acara tertentu saja, kondangan misalnya.

"Dek, udah belum? Tante Mira udah otw ini." Suara Mama terdengar dari balik pintu kamar, memastikan Shalu tidak tidur lagi.

Shalu memutar bola mata sambil menjawab dengan ogah-ogahan. Entah kenapa dia tidak antusias dengan kata 'dilamar' seperti gadis-gadis lain, padahal yang akan melamarnya adalah si Mister Perfect. Harusnya itu sudah cukup membuat perut Shalu dipenuhi kupu-kupu atau dinosaurus terbang, kan? Resah dan gelisah sampai kebelet pipis, gugup yang menyerang tiba-tiba, bingung mau berbuat apa, atau tidak nafsu makan adalah reaksi wajar yang seharusnya dia rasakan. Anehnya, Shalu merasa biasa saja.

Dress selutut tanpa lengan dengan warna peach menjadi pilihan Shalu. Potongan di pinggang gaun tersebut dapat menampilkan kesan langsing, dan bentuk A bagian bawahnya menjuntai jatuh karena bahan sifon yang ringan. Shalu memoles make up tipis-tipis, membiarkan rambutnya tergerai, dan siap keluar kamar saat didengarnya deru mobil yang berhenti di depan. Udah datang? Gadis itu mematut dirinya di cermin sekali lagi sambil menelan ludah. Rasa gugup sedikit menguasainya sekarang.

*

"Ya ampun, Jeng, ini sih kabar gembira sekali buat saya. Kenapa ini kok tiba-tiba Evans pulang? Bukannya rencananya masih dua bulan lagi?" Mama Shalu yang tak pernah berhenti tersenyum sejak kedatangan calon besan dan menantunya, bertanya antusias.

Mereka berempat kini sudah duduk di ruang tamu sambil berbincang santai dan menikmati secangkir teh hangat. Shalu yang masih gugup lebih banyak menunduk dan meremas-remas tangannya, sementara Evans tak melepas pandangan sejak kali pertama melihat Shalu dalam balutan gaun peach. Dia sendiri tampak lebih santai dengan setelan celana jeans dan kemeja polos pas badan berwarna biru muda. Otot lengan yang kekar dan dada bidangnya terekspos jelas dengan penampilan Evans yang seperti itu.

"Iya, Jeng Desi. Kepengin pulang sebentar katanya, jenuh dia berkutat sama tesis." Tante Mira menjawab pertanyaan Mama Shalu dengan riang seperti biasa.
"Tante ...." Shalu mendongak saat Evans berbicara. Perasaannya kini bergemuruh tak keruan dan jantungnya berdetak tak wajar. Evans melirik Shalu dengan ekor mata, seolah tahu calon istrinya itu sedang menanti apa yang akan dia ucapkan.

"Boleh saya dan Shalu keluar sebentar, sementara Tante dan Mama ngobrol-ngobrol?" lanjutnya.

Shalu mengembus napas lega. Kirain mau ngomong apa. Mama tertawa riang mendengar ucapan Evans barusan dan langsung mengiyakan begitu saja. Kedua sejoli itu kini sudah duduk di mobil Evans dengan perasaan tak menentu---bagi Shalu setidaknya, karena Evans terlihat sangat rileks.

"Kamu cantik pakai gaun seperti ini, Babe. Aku lebih suka penampilan kamu yang ini ketimbang yang semalam. Celana dan blus---" Evans melengkungkan bibirnya sambil mengedikkan bahu. "Aku suka cewek berpenampilan feminim. Mereka akan kelihatan lebih ... seksi." Mata Shalu membulat mendengar penuturan Evans. Dia tidak bisa membedakan apakah cowok itu sedang memuji atau mengkritiknya.

"Ah, sayang aku jarang pakai gaun begini, Vans. Aku lebih suka berpakaian yang bikin aku nyaman dan jadi diriku sendiri, daripada berpenampilan macam-macam demi sebuah pujian atau predikat tertentu. Kita ke mana sekarang?"

Jawaban Shalu membuat Evans tertawa. Mata indah itu menatap Shalu lebih tajam, sementara tangannya mengusap-usap berewok tipis yang tumbuh di dagu. "Hmm ... menggoda," ucap Evans sambil menyalakan mesin mobil. "Everywhere you want to go, Babe."

"Ke klinik aku aja kalau gitu." Shalu menjawab pendek.

"Klinik? Klinik hewan?" Evans mengernyit, urung menginjak pedal gas.

Gadis itu mengangguk cepat. "Ya, kurasa kita perlu perkenalan singkat, kan? Biar kamu tahu aja kegiatanku sehari-hari kaya gimana."

"Sebentar aja, ya. Habis itu aku antar kamu ke salon."

"Ke sa-lon?"

"Babe, kapan terakhir kali kamu ke salon? Lihat rambutmu yang kering itu, kantung matamu yang kelihatan jelas. Calon istriku harus rajin-rajin merawat diri, Babe. Mulai bulan ini aku bakal kasih kamu kartu kredit dengan limit berapa pun yang kamu mau buat perawatan."

Shalu terpatung kaku dalam duduknya. Bukannya senang karena kartu kredit yang ditawarkan Evans, gadis itu justru bergejolak karena komentar calon suaminya barusan. Apa gue ini terlalu dekil di mata Evans? Demi Tuhan, gue benar-benar terjerumus dalam komplotan sekte pemuja kesempurnaan!

Sepuluh menit berikutnya, mereka sampai di Kitty Clinic and Shop. Evans turun dari mobil dengan ekspresi malas. Dia mengeluarkan sapu tangan, lantas menutup hidungnya dengan itu saat masuk ke dalam klinik.

"Kenapa, Vans?" Dahi Shalu berkerut melihat aksi calon suaminya.

"Emm ... aku nggak terbiasa ke klinik hewan, Babe. Yah, jaga-jaga aja, kan? Dari virus dan bakteri yang aku nggak tahu," jawabnya santai.

Shalu mencoba maklum dengan jawaban tersebut, tapi saat melihat gelagat Evans yang ingin cepat-cepat keluar, Shalu tahu bahwa Evans tak tertarik sama sekali dengan profesinya. Padahal, gadis itu ingin setidaknya calon suaminya mendukung atau mengatakan hal yang menyenangkan seperti 'kamu hebat, aku bangga sama kamu,' seperti ... Brahma. Shalu meneguk ludah saat pikirannya tiba-tiba membawanya pada sang chef. Dia sadar, untuk urusan ini Evans dan Brahma sangat berbeda. Brahma yang dulu, di awal kursus mereka antusias menanyakan apa tugasnya sebagai veterinarians, sementara Evans? Tidak sama sekali. Gelenyar aneh lagi-lagi berpilin dalam perut Shalu.

*

Dua setengah jam kemudian keduanya sudah kembali ke rumah. Rambut Shalu sudah lebih wangi di-creambath, wajahnya lebih fresh karena facial, dan tubuhnya lebih rileks sehabis spa. Gadis itu tersenyum, merasa lucu dengan perhatian Evans.

"Babe, setelah nikah aku nggak mau kamu kerja lagi, apalagi yang kotor-kotor begitu. Kamu ikut aku ke London. Untuk setahun ke depan aku akan tinggal di sana, ngurus proyek."

Jantung Shalu bagai berhenti berpacu untuk sepersekian detik. Dia mencoba mencerna pernyataan Evans barusan, tapi tetap saja hati dan otaknya tidak bisa menerima. Kotor-kotor katanya? Gadis itu menggeleng tegas.

"Aku bakal tetap jadi aku setelah kita nikah, Vans. Dan lagi ... nikah? Kita bahkan baru ketemu sekali ini," ujarnya dengan nada tinggi.

"Apa yang kamu ragukan dariku, Babe?" Kedua mata Evans menatap Shalu tajam.

"Aku nggak ragu sama kamu, aku ragu sama diriku sendiri. Ini terlalu cepat, Vans. Aku belum siap!" Shalu membuka pintu mobil dan masuk rumah dengan tergesa hanya untuk mendapatkan surprise lain yang membuatnya semakin limbung.

"Tante sama mamamu sudah bicara. Minggu depan, acara pertunangan kalian akan dilangsungkan."

===&===

Ketiduran lagi semalam 😅 Hmm, gimana nih, Evans menurut kalian? Calon suami sempurna untuk Shalu kah?

Maacih yang masih ninggalin voment-nya, ya! 😍

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now