Bab 7: Carpaccio | 2

5.6K 561 14
                                    

"Padahal, kan daging mentah kaya gini nggak sehat. Banyak bakteri Salmonella-nya." Shalu menggerutu begitu dia dihadapkan dengan menu kedua favorit Evans.

Brahma berdecak sambil bersedekap. "Ya karena itu sausnya pakai jus lemon atau wine vinegar, Shal, biar bakterinya mati."

"Tetap aja carpaccio ini nggak sehat, Brahma!" Shalu bersikeras.

"Nggak juga, ah. Appetizer khas Itali ini kalorinya dikit, jadi cocok buat yang mau pada diet," ucap Brahma. "Daripada lo ngambek-ngambek nggak jelas gitu, mending cepat diiris deh, dagingnya."

Shalu mau tidak mau harus menurut. Tenderloin yang sudah ditaruh dalam freezer tiga puluh menit sebelumnya itu diirisnya perlahan-lahan. Kata Brahma, membuat carpaccio adalah seni mengolah daging. Irisannya yang super tipis menjadi kunci supaya teksturnya kenyal dan empuk.

Untuk mengakalinya, Shalu mengiris agak tebal kemudian memipihkan daging tersebut dengan meat tenderizer atau palu pemukul daging. Setelah selesai, Shalu menata daging mentah setipis kertas itu di atas piring porselen yang cantik.

Membuat hidangan pembuka ini sebenarnya mudah karena tidak memerlukan banyak langkah. Shalu hanya perlu mengiris daging, membuat sausnya, dan memberi garnish supaya tampilannya semakin menggoda. Selain menggunakan daging sapi muda, carpaccio juga bisa dibuat menggunakan ikan seperti salmon dan tuna.

"Menurut lo kualitas bahan yang digunakan dalam memasak itu seberapa penting, Shal?" Brahma mengajak Shalu ngobrol saat gadis itu tengah asik menyiapkan saus untuk carpaccio-nya. Dia mencampur dijon mustard -saus khas  Perancis yang berasal dari campuran anggur putih dan rempah- dengan bahan-bahan lainnya yaitu olive oil dan cuka balsamik.

"Ya penting lah. Semakin berkualitas bahannya makin enak dan sehat masakannya," jawab Shalu asal.

Brahma tersenyum simpul mendengar jawaban klise tersebut. "Benar, itu emang prinsip seorang chef. Chef yang handal selalu memilih bahan dengan kualitas nomor satu. Rasanya nggak bisa bohong walaupun di kantong lebih mahal. Buat orang-orang yang nyari kepuasan kuliner tentu itu nggak bakal jadi masalah. Yang barusan lo iris contohnya, daging sapi Argentina, tuh."

Shalu mengangguk-angguk sementara tangannya sibuk meratakan saus di atas daging sapi Argentinanya dengan kuas. Setelahnya, gadis itu menaburkan freshly cracked lada hitam dan garam laut di atas saus. Cekatan, dia menyerut keju Parmesan dan menata daun rucola sebagai salad sekaligus garnish.

"Yeay! Selesai!" Shalu mengepalkan tangannya di udara seperti pesepak bola yang baru saja mencetak gol. "Gampang banget bikin carpaccio ini!" Dia menjawil hidungnya sendiri, tertawa riang.

Ada kembang api yang seolah meledak-ledak di perut Brahma. Tawa riang Shalu dan ulahnya barusan sungguh menggemaskan. Ingin sekali dia mencubit pipi merona gadis itu. "Dih, sombong banget! Tunggu sampai dicicip sama Tante Mira." Sayang, hanya itu yang bisa dia ucapkan.

*

Beberapa menit kemudian, keduanya sudah berada di ruang santai. Shalu memutuskan untuk menunggu Tante Mira pulang. Dia ingin menyaksikan calon mertuanya itu mencicipi carpaccio-nya langsung di depan mata - satu hal yang justru ditakutkan Brahma.

"Besok kita bikin gelato. Lo pasti suka." Brahma membuka percakapan, sementara Shalu memindah-mindah channel TV 43 inch. Ruang santai itu sangat homey, lengkap dengan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya temaram, sofa panjang, juga permadani yang empuk.

"Suka dong gue! Sorry ya, minggu kemarin kita cuma kursus satu kali aja. Gue benar-benar nggak enak badan." Shalu mengungkapkan penyesalannya karena minggu lalu jadwal mereka terpangkas.

"Never mind, Shal. Kesehatan lo yang terpenting."

Brahma membekap mulutnya cepat-cepat sambil berdeham. Dia menyesali ucapannya barusan. Bagaimana kalau gadis itu menyadari nada cemas dalam suaranya? Untung Shalu sedang sibuk sendiri sehingga abai pada perhatian Brahma.

"Lo tuh nyari acara apa, sih? Nonton film aja di Netflix." Brahma sengaja mengalihkan pembicaraan. "Ada film bagus yang bisa ngembangin keterampilan masak lo. Jadi waktu kita kursus nggak sia-sia. Berhubung bikin carpaccio nggak butuh waktu lama, sisanya lo gunain buat nonton film yang masih berkaitan sama masak."

Shalu setuju. Dia memang penggemar film apa saja, dari drakor sampai India. Brahma mencari film berjudul Chef yang rilis tahun 2014 silam.

"Lo pernah mimpi punya truk makanan kaya gini juga nggak, chef bintang dua?" tanya Shalu, saat adegan dalam film itu menayangkan si tokoh akhirnya punya truk makanan yang laris manis.

Brahma mengernyit, lantas menggeleng. "Bukan truk juga sih, Shal. Kalau restoran iya."

"Kenapa belum diwujudin?" Shalu mendesak ingin tahu.

"Eemm ... ya belum buat saat ini. Gue masih harus ngelola restoran Tante Mira dulu sampai seratus tahun ke depan." Brahma tertawa. Tawa yang dipaksakan dan Shalu tahu itu.

"Tante Mira bikin lo under pressure, ya. Atau dia bakal ngancam reputasi lo sebagai chef kalau lo sampai keluar?"

Kali ini Brahma benar-benar tertawa. Dia tak menyangka Shalu akan berpikir begitu.

"Bukan, Shal! Ada-ada aja, lo. Gue emang mau cari pengalaman dulu," jawab cowok itu, senyumnya merekah. Tulus. "Kalau lo, apa impian lo yang berkaitan sama profesi lo?"

Shalu memilin-milin anak rambutnya, mulai memasang wajah sebal. "Gue pengin punya rumah kucing buat kucing-kucing terlantar. Gue bakal tampung dan pelihara mereka sebaik mungkin di sana," jawabnya enteng. "Stop! Jangan ketawa! Gue pikir lo beda, nyatanya sama aja kaya orang-orang. Lo mau ngerendahin profesi gue, kan?" Melihat Brahma menahan tawanya, gadis itu bersungut-sungut.

"Nggak, Shal, lo kenapa sih selalu senewen kalau diajak ngobrolin profesi? Gue cuma lucu aja gitu, hari gini ada orang kaya lo yang mau susah-susah mikirin kucing," ujar Brahma seraya beringsut menjauhi Shalu. Dia tidak mau lagi dihujani cubitan pedas gadis itu. Namun, melihat Shalu tidak bereaksi barbar, Brahma mengembus napas lega.

"Dan siapa sih, yang mau ngerendahin profesi lo? Gue justru bangga punya teman yang care sama makhluk hidup lain kaya lo. Kenapa lo harus dengerin omongan orang, Shal. Yang penting lo senang dan bahagia dengan apa yang lo lakuin. Jarang lho, orang yang bisa kerja dan menghasilkan uang dari kesenangannya kaya lo. Harusnya lo banyak-banyak bersyukur," terangnya panjang lebar.

Shalu nyaris melayangkan cubitan mautnya pada Brahma jika suara ketukan high heels Tante Mira tidak terdengar semakin dekat. "Tante Mira!" Gadis itu terlonjak girang. Dia segera beranjak ke dapur, mengambil sepiring carpaccio yang sedari tadi telah menanti untuk dicicipi.

Brahma mencelus. Dia ingin segera pergi dari sini, tak mau menyaksikan binar mata Shalu yang cemerlang berganti dengan sorot kesedihan. Bagaimana ekspresi Tante Mira jika lidahnya saja tidak bisa menerima cita rasa carpaccio buatan Shalu? Chef bintang dua itu hanya bisa terduduk pasrah. Kali ini dia tak bisa melindungi dokter hewan kesayangannya lagi.

===&===

Kira-kira Tante Mira bakal bilang apa ya, sama carpaccio bikinan Shalu? Pasti dia bakal sedih kalau dikomentarin macem-macem, terus nggak mau masak lagi, deh! 😭

Terima kasih yang masih setia kasih voment di sini, moga kalian gak bosan, ya! ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now