[21] Her Heart

326 35 0
                                    

Kebencian dan kebohongan.

Aku tak pernah tahu jika kedua hal itu bisa menghancurkan diriku begitu dalam.

6 tahun lalu, ayahku mengalami kebangkrutan atasperusahaan yang ia bangun bersama teman – temannya. Orang lain menganggap kebangkrutan itu disebabkan oleh ayahku yang korupsi.

Cibiran tetangga tak dapat kami hindari. Mulai dari makian, teriakan, bahkan sampai ada yang melempar entah telur, batu atau apapun itu ke arah rumah kami.

Kami pindah karena rumah kami disita beserta seluruh isinya. Ruangan yang hanya sebesar 6x6 diisi oleh tiga orang, aku masih bersyukur karena kami masih bersama. Nyatanya kebersamaan itu tak berlangsung lama saat pertengkaran demi pertengkaran tercipta diantara ayah dan ibuku yang hampir setiap hari.

Aku lelah mendengar pertengkaran yang membuat kepalaku selalu nyaris pecah setiap mendengarnya. Pada akhirnya aku mencari kegiatan diluar, mengambil banyak pekerjaan paruh waktu untuk membantu keuangan rumah dan mulai menabung untuk melanjutkan studiku. Aku masih menyimpan harapan aku masih dapat melanjutkan studiku yang sempat terbengkalai selama satu semester.

Saat itu persidangan dengan tuduhan pada Ayah sudah berakhir. Meski dinyatakan tidak bersalah,  semua aset yang tersisa tetap disita. Dimulai dari sana aku sering mendapati Ayah jarang pulang ke rumah. Hingga sebulan kemudian sebuah surat dari pengadilan masuk ke rumahku. Kedua orangtuaku bercerai. 

Ayah pergi meninggalkan aku dan ibu begitu saja. Dan menikah dengan wanita lain hanya dalam waktu satu minggu, membuat hatiku hancur dan kepercayaanku pada sosok pria yang sangat aku kagumi dalam hidupku itu luluh lantah tak bersisa di sapu hujan badai.

Nyatanya hidupku masih berlanjut, dimana ada seorang donatur yang mau membiayai studiku membuatku bisa kembali ke perkuliahan.  Kukira mereka akan melupakan kejadian yang sudah berlalu satu tahun lamanya. Tapi ternyata saat aku kembali mereka tak lagi menganggapku sebagai teman, dan malah memanggilku sebagai seorang anak koruptor.

Aku merasa kehidupan selalu mempermainkanku. Setahun kemudian aku mendapatkan kabar bahwa ayahku meninggal. Rasa benci mematikan nuraniku, aku tak datang sama sekali ke upacara pemakamannya atau pergi mengunjungi kuburannya.

Malam itu, dihari yang sama kami mendengar kabar kematian itu, dengan tanpa sengaja aku mendengar teriakkan ibuku bahwa aku ini adalah sebuah beban. Dibandingkan menyebut diriku sebagai anak, ibuku malah memanggilku beban untuk ayahku yang masih harus dihidupi. Katanya, jika saja aku tidak bersikeras melanjutkan studi. Ayah takkan pernah pergi meninggalkan kami seperti ini.

Tak lebih dari seminggu kabar kematian ayahku, istri ayahku saat itu memberikan sebuah surat yang katanya dari ayahku.

Itu kenyataan paling menyakitkan atas semua kebohongan yang ayahku lakukan selama ini. Ayah berbohong tak mencintai ibuku lagi, dia pergi bersama wanita itu untuk memberikan kehidupan yang lebih baik untukku juga ibu.

Wanita itu menjanji akan memberikan apa yang ayah mau jika mau menikahinya. Aku mendapatkan sponsor beasiswa dari ayahku sendiri tanpa sepengetahuanku. Bahkan sponsor itu memberiku uang bulanan yang cukup untuk menghidupi ibuku dan juga diriku.

Selama ini ayah berbohong untuk menghidupi kami dan selama itu pula aku membencinya. Dia pergi agar kami bisa tetap hidup, dia pergi agar aku bisa melanjutkan studi seperti yang kuinginkan. Dia pergi dengan kebohongan, bahkan dia meninggalkan kami bersama kebohongan tentang penyakit yang ia derita.

Aku semakin membenci diriku karena telah membenci ayahku sendiri.

Seorang pembenci seperti diriku tak pernah merasa pantas untuk di cintai.

The Untouched GirlWhere stories live. Discover now