"Mana yang nggak ngerti?" tanya Revel sabar. Sudah tiga kali ia menjelaskan, tapi Joy masih saja kepusingan.

"Integral, Re. Pusing banget." Joy mengeluh. "Gimana mau masuk teknik kalau buta matematika?"

Revel tahu, Joy sebenarnya tidak berminat masuk jurusan teknik. Ayahnyalah yang mau sang putri terjun ke sana. Mengerikan memang, tapi Revel justru semakin takjub. Joy mau susah-susah belajar dan mencemplungkan diri pada hal yang tidak ia suka demi orangtuanya.

"Kuliah sesuai passion itu memang menyenangkan, tapi nggak ada salahnya bikin orangtua bahagia." Selalu itu yang diucapkan Joy kalau Revel bertanya.

Orangtua, katanya.

Revel tersenyum miris kalau ingat kata tersebut. Sebagai manusia yang terlahir dari keluarga cacat, keinginan membahagiakan orangtua cuma dianggap taik! Jangankan punya asa membahagiakan mereka, tidak dendam saja rasanya luar biasa.

Revel sering iri pada beberapa kawannya. Enak ya jadi mereka, punya orangtua yang masih lengkap. Makan bersama di meja makan. Ditanya gimana sekolahmu hari ini? Tertawa dan merencanakan liburan. Dirawat sepenuh hati kalau sakit. Dipandu saat kebingungan.

"Re," Joy memanggilnya.

"Hmm." Tanpa menoleh.

"Revel!"

Cowok itu mendongak. "Apa?"

"Tipe cewek yang lo suka kayak gimana, sih?"

"Hah?"

"Selama kita kenal, kayaknya nggak ada cewek yang bikin lo kepincut. Lo masih normal, kan?"

Revel diam sejenak. Alisnya terangkat sedikit.

"Kalau saya belok, kamu masih mau temenan sama saya, kan?"

"Jadi, lo beneran nggak doyan cewek?"

"Doyan."

Revel hanya tidak punya pikiran seperti teman cowoknya. Yang mana kisah romansa begitu wajib mewarnai masa remaja. Ada pepatah yang mengatakan bahwa asmara di masa SMA adalah bumbu paling nikmat dalam kehidupan. Dan jika tidak memiliki momen tersebut, maka akan terasa kurang.

Revel tidak peduli dengan pepatah bodoh tadi. Baginya, bagaimana mungkin cinta monyet dijadikan penentu kenikmatan hidup? Sungguh pikiran yang tolol!

Dan begitulah Revel menjalani masa SMA-nya. Tidak seperti kebanyakan remaja, ia abai terhadap romantika atau persetan apapun namanya itu. Fokus utamanya memang hanya belajar, belajar, dan belajar. Menginjak kelas dua belas, ia bahkan punya pikiran serius. Ia harus mulai mengurangi beban sang nenek. Dengan masuk perguruan tinggi negri, salah satunya. Maka dari itu, secara otomatis ia tidak terlalu mengenal kisah klasik bernama percintaan.

Memang sih, hormon dalam tubuhnya kadang tidak mendukung. Sesuatu dalam tubuhnya menginginkan Revel untuk tidak melupakan kodrat. Hampir setiap hari, ada saja yang membuat hormon itu merangkak. Teristimewa jika dihadapkan dengan lekuk-lekuk tubuh teman perempuannya. Atas, tengah, bawah. Semuanya bikin resah, kadang basah. Ditambah sikap menggoda, nada suara manja, dan naluri feminin para kaum hawa, lengkap sudah kenapa Revel percaya bahwa lelaki memikirkan seks lebih sering daripada wanita.

Joy juga sama. Kadang ia tidak menyadari, bahwa yang dilakukannya sering membikin Revel resah. Rengek manja saat tidak bisa mengerjakan soal fisika. Undangan ke rumahnya saat tidak ada siapapun. Rangkulan tiba-tiba di pundak. Haduh, ribet! Belum lagi soal paha yang berkibar-kibar. Payudara yang sedang montok-montoknya. Pinggang yang aduhai. Ah, sial! Revel tidak mau berpikir sekotor itu. Tapi kalau tidak dilihat, mubazir.

Aku dan Sang Pemusnah MasalOnde as histórias ganham vida. Descobre agora