Jumat sore begini, jadwal praktikum tidak ada. Sehingga laboratorium bisa dijadikan tempat alternatif bagi asprak (asisten praktikum) yang sedang membunuh waktu. Mereka bisa mengerjakan tugas kuliah, main game dan nonton YouTube——asal tidak ketahuan, atau mungkin tidur.

Revel sendiri diam di lab karena jam lima nanti ia akan menemui dosen pembimbing. Jadwal setor bab tiga. Kebetulan ruangan dosennya hanya beda lantai dengan lab ini. Daripada menunggu di kosan, lebih baik ngadem di lab. Seperti itu ia mempertimbangkan keputusannya setelah kelas Jaringan Nirkabel sejam lalu.

"Lemah amat sih jadi orang. Gitu aja nekat bunuh diri."

Revel mendengar suara di arah diagonal, tepatnya di komputer admin. Ternyata tiga mahasiswa sedang mendiskusikan sesuatu.

"Waduh, fansnya juga lebay amat, ya." Lagi-lagi seruan pendapat keluar dari sumber yang sama. Si Bacot Tomvi. Begitulah Revel memanggilnya. "Ngapain coba orang kayak gitu ditangisi? Bener-bener suram anjir."

Revel diam menyimak. Menahan diri untuk tidak menanggapi komentar yang dikemukakan Tomvi.

"Pada ngomongin apa, sih? Seru banget kayak nonton ikkeh-ikkeh kimochi."

"Language-nya tolong, Wen."

Kali ini, dua adik tingkat yang sedari tadi saling bisik, ikut bersuara.

"Ini, Wen, Sel, kaleidoskop daftar artis yang bunuh diri."

Wen (kependekan Wendy, yang bicara soal ikkeh-ikkeh kimochi) dan Sel (kependekan Gisel, yang menegur dengan kata language), menghampiri komputer admin. Dua gadis itu berdiri bersebelahan. Tepatnya di belakang kursi Tomvi yang menghadap komputer.

Tayangan video memang menampilkan kaleidoskop kasus bunuh diri. Detik ini, ditampilkan seorang bintang yang mati dengan cara membakar briket di tempat tinggalnya. Diceritakan kalau penyanyi pria itu memang sudah lama menderita depresi. Dijelaskan pula bahwa setelah kematiannya, beberapa fans nekat menyusul mendiang dengan membunuh diri.

Tayangan berlanjut. Kali ini menampilkan artis perempuan asal Korea Selatan. Penyanyi yang punya bakat akting. Masih begitu muda. Cantik. Kaya.

"Kasihan loh dia ini," komentar Gisel. "Abis keluar dari girlband, karirnya mulai merosot."

"Katanya dia ini suka difoto tanpa beha, ya, Sel?" tanya Wendy.

Tomvi dan dua cowok di depan komputer menahan tawa. Biasa, cowok. Mendengar kata beha langsung senang. Ibaratnya, minuman soda. Dikasih 'susu' langsung gembira. Yeah, soda gembira. Belum pernah coba atau merasa tidak mengerti dengan lelucon ini? Kasihan sekali kalian.

"Hooh." Gisel mengangguk. "Selain itu, kayaknya apa-apa yang dilakuin salah terus di mata netizen. Pacaran sama rapper, dibilang kegatelan. Pas putus, dituduh udah nggak perawan. Tiap posting sesuatu, pasti komentarnya dipenuhi caci maki."

"Terus gara-gara itu, dia nekat bundir?" tanya Tomvi yang diangguki Gisel. "Lemah banget kalau kayak gitu."

Revel yang masih diam-diam menyimak, tersenyum hambar. Ia mencoba memposisikan diri sebagai Tomvi. Mulai dari terlahir melalui orangtua yang saling mencintai. Hidup bergelimang harta. Digandrungi para gadis. Kemampuan public speaking yang luar biasa. Punya pacar. Hmm, apa lagi yang kurang? Orang seperti Tomvi tidak akan mengerti. Hidupnya sudah penuh warna. Dan berksesan. Tidak aneh kalau ia bisa berkomentar seperti tadi.

"Kadang gue nggak ngerti sama pikiran orang yang nekat bunuh diri." Untuk kesekian kali, Tomvi menyerukan pendapat. "Kalau bukan kerena kurang iman, kayaknya emang lemah aja dia."

"Nggak usah sok tahu lo, Vi," Wendy menukas. "Kita nggak pernah tahu kemampuan dan posisi seseorang kayak gimana."

"Gini, ya, Wen." Tomvi membetulkan posisi duduk. "Di luar sana masih banyak yang punya masalah lebih gede. Lalu apakah mereka bunuh diri? Nggak, Wen. Mereka memilih bertahan."

"Tapi asal lo tahu, Vi. Kadang bukan masalah yang bikin orang jadi depresi. Tapi depresilah yang bikin segalanya jadi bermasalah."

Hening.

Lengang sejenak.

Tidak ada sahutan.

Revel merasa tidak percaya adik tingkatnya bisa bercakap demikian. Seingatnya, Wendy lebih sering nyap-nyap hal tidak penting. Barangkali empat orang itu merasakannya juga. Mereka takjub sebab tumben-tumbenan Wendy bicara serius.

"Bahagia itu pilihan. Tuhan kasih masalah, Tuhan juga yang kasih solusi. Ini gimana kita saja, mau atau nggak bangkit dari keterpurukan?" Tomvi menjelaskan panjang lebar. "Iya kan, Guys?"

Wendy hendak menukas, namun Gisel yang sempat melirik ke arah Revel, malah berkata, "Bang Vel, sini gabung."

"Iya. Sini, Bang." Wendy mengangguk-angguk. Seakan lupa barusan sedang berdebat. "Barusan gue ngomong yang berfaedah, loh. Traktir, dong."

Revel menggeleng kaku. Ia tidak berniat bergabung dalam obrolan mereka. Selain merasa tidak penting, ini sudah waktunya menemui Pak Toddy. Dosen pembimbingnya.

"Dih, udah beres-beres saja."

"Ditunggu Pak Toddy." Revel menyampirkan ransel lalu memeluk bab tiga yang sudah disiapkannya seminggu lalu. "Duluan, ya."

"Good luck, Bang." Tomvi dan dua rekannya menyemangati.

"Kalau acc, langsung joget tengah lapang, ya. Gue temenin nanti," seloroh Wendy.

"Traktir pringles, Bang," tambah Gisel.

Revel tidak bereaksi saat kalimat-kalimat itu terdengar. Ia memastikan lagi tidak ada barangnya yang tertinggal. Ponsel dan earphone sudah masuk saku jaket, bab tiga di tangan, tas juga oke.

Bersamaan dengan ia yang memeriksa barang, rupanya diskusi soal bunuh diri kembali terdengar. Revel tidak bisa lagi menyimak sebab ia sudah di luar lab.

-bersambung

4 Januari 2020

Aku dan Sang Pemusnah MasalМесто, где живут истории. Откройте их для себя