40. Many people love you, Dave

1.2K 113 10
                                    

Happy 1k votes (I won't ever delete this little memory)

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

●●●

Hening. Tidak ada yang memulai percakapan. Ketiga remaja itu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Farel sibuk dengan ponselnya, Fadel sibuk memerhatikan hujan di luar, dan Dave sibuk dengan tidurnya. Mereka bosan. Sungguh. Tidak ada hal yang berfaedah yang mereka lakukan sekarang.

Ahh ya, Farel ingat jika Hayden dan Kirana sama sekali belum diberitahu tentang keadaan Fadel. "Siapa yang mau ngasih tau keadaan Fadel ke Paman sama Bibi?" tanya Farel memecah keheningan, sekaligus membuat kedua adiknya menatapnya. Dave tidak benar-benar tidur, ia sebenarnya hanya memejamkan matanya, sembari berusaha mengurangi rasa sakitnya.

"Jangan dikasih tau!" seru Fadel dan Dave bersamaan.

"Kenapa?"

"Jangan bikin mereka khawatir lah, Ge! Mereka mungkin lagi sibuk di China," ucap Fadel.

Dave mendengkus kesal. "Lo gak usah cari perhatian mereka. Gue yakin, nanti kalau mereka tau, lalu minta penjelasan, lo pasti mojokin gue."

Farel bungkam. Apa dirinya terlalu egois? Apa dirinya terlalu menyakiti Dave? Kenapa Dave dengan santainya berucap seperti itu? Apa semua yang dirinya lakukan itu salah?

"Gak jawab 'kan lo?" sindir Dave, "gue udah tau sama sifat lo, Ge. Bener 'kan lo mau mojokin gue?

"Gue masih ingat, Ge, lo pernah bilang "Rebut semua hak gue atas Mama dan Papa". Dan kayaknya, lo mulai lakuin itu deh."

Dave memejamkan matanya. Kenapa sakit itu belum hilang?

Fadel hanya menyimak ucapan Dave, lalu sedikit melirik ke arah Farel. Tatapan Farel kosong. Fadel sedikit membenarkan ucapan Dave. Jujur saja, ia sudah muak dengan semua sikap dan sifat Farel yang sekarang.

Mata Fadel membulat ketika mengingat suatu hal. Apa sakit Dave kambuh? Sebenarnya, ia tadi sedikit mencuri pandangan kepada Dave yang sedang tertidur sembari meremas dadanya pelan.

Dave bangkit dan langsung berjalan keluar kamar rawat Fadel. Remaja itu menutup pintunya keras, hingga terdengar suara berdebum, dan membuat Farel kembali ke alam sadarnya. Bukan, bukan karena Farel ia memilih keluar, tetapi karena sakit itu.

Tidak mau menghabiskan tenaganya hanya karena menahan rasa sakit itu, segera Dave berjalan menuju ruangan Randy. Sesampainya di sana, Dave langsung membuka pintunya kasar dan langsung terjatuh. Randy yang sedang sibuk memeriksa berkas-berkasnya itu, langsung bangkit dan menghampiri Dave.

Randy membalikkan tubuh Dave, membuatnya menghadap dirinya. Hal yang ia lihat adalah Dave yang memejamkan matanya kuat dengan tangan yang terus meremas dada kirinya. Randy yakin, Dave belum pingsan sepenuhnya.

"Dave!"

"Gue tau lo belum sepenuhnya pingsan, kasih respon ke gue Dave, genggam tangan gue." Ah sial, kenapa ia malah panik, bukannya ia sering menghadapi hal seperti ini?

Dave yang memang belum pingsan sepenuhnya langsung menggenggam tangan Randy, lalu meremasnya kuat, seolah ia ingin berbagi rasa sakit.

"Bagus." Randy langsung mengangkat tubuh Dave, lalu membawanya ke dalam ruangannya. Tanpa mereka sadari, Farel sedari tadi mengikuti ke mana Dave pergi.

***

Farel bangkit setelah menyadari jika Dave keluar dari kamar rawat Fadel. Belum sempat ia mengejarnya, suara Fadel sudah membuatnya kembali menoleh ke arah Fadel.

"Lo mau ke mana?" tanya Fadel.

"Ngikutin Dave."

"Buat apa?" Bukan, bukan niat Fadel tidak peduli kepada Dave, tetapi ia hanya ingin membuat Farel kesal.

"Firasat gue gak enak ke dia."

Fadel terkekeh. "Bisa punya firasat juga ternyata lo ke dia."

Farel menatap sang adik tajam. "Di, jangan mulai!"

Fadel tidak menjawab, hanya tersenyum miring. Farel langsung berlari keluar kamar rawat Fadel. Menoleh ke arah kiri dan mendapati Dave yang sedang berjalan pelan dengan tangan yang terus mencari tumpuan.

Farel mengernyit. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dave?

Hingga sampai di ruangan salah satu dokter, Farel melihat Dave yang langsung terjatuh setelah membuka pintunya.

***

●●●

Randy terus memerhatikan wajah tampan nan manis milik Dave. Pipinya yang cukup berisi, hidungnya yang mancung, bibirnya yang kecil dan tipis, serta matanya yang teduh---jika terbuka. Begitu sempurna---menurutnya.

Randy menggenggam tangan Dave. Randy sudah menganggap Dave sebagai adiknya sendiri, jadi jangan salahkan ia jika dirinya menjadi panik ketika melihat kondisi Dave seperti sekarang, apalagi setelah panggilannya diganti dengan lo-gue. Rasanya seperti benar-benar dengan adik sendiri.

"Lo tenang banget, ya, tidurnya, Dave."

"Gue tau lo kuat."

"Gue tau lo juga diam-diam nyimpen semua masalah lo sendiri."

"Gue mohon, lo jangan nyimpen masalah lo sendiri. Perlu lo ketahui, kadang hal itu yang bikin sakit lo jadi lebih."

"Bangun! Lo boleh cerita apa pun ke gue. Gue pasti siap dengerinnya."

"Gue sayang lo, Dave."

●●●
TBC

Salam dari jiejie-nya Song Yaxuan dan Liu Yaowen;)

Family or EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang