Langkah 22

26 3 0
                                    

Rasanya sudah tidak terlalu pusing kepalaku. Ombak kali ini juga lumayan bersahabat. Bahkan, aku merasa seperti berada di rumah. Dan ya, aku sempat minum pill anti mabuk juga, sih. Meski harus menanggung malu. Mengabaikan tawa meremehkan dari Irfan ketika kak Bima menyerahkan bungkusan kapsul anti mabuk itu.

"Fan!" Aku mengetuk pintu kamar Irfan. Habis jaga kemudi tadi pagi, aku rasa istirahat si Centil Boy sudah cukup. Mengganggu dia akan jadi menyenangkan ini.

Karena, tidak ada sahutan dari dalam, aku memutar gagang pintu. Tidak terkunci.

Yang benar saja, anak itu masih tertidur hingga sesore ini? Sebenarnya ini adalah pelanggaran. Aku tidak boleh masuk begini saat penghuni kamar sedang istirahat. Bahkan, sangat tidak boleh.

Tetapi, ini Irfan. Tidak mungkin ia akan marah akan hal ini. Kalau pun marah, peduli amat.

"Ngapai, Riang?"

"Eh, sudah bangun, Babe?" Aku lalu tersenyum hampir terbahak. Ya, aku mencoba memberinya hiburan.

Irfan melotot dengan kening berkerut. "Kesambet setan kapal?"

Akhirnya aku tergelak. "Habisnya kamu tidak pernah lagi memanggilku dengan panggilan seperti itu."

"Emang kamu suka, ya?" Irfan lalu bangkit dari tempat tidurnya. Menatap sinis dengan ekspresi datar ke arahku.

Ya, tanpa dijelaskan aku pun mengerti, kenapa Irfan tidak lagi menggodaku dengan panggilan khususnya. Besar kemungkinan karena ada kak Bima. Apalagi suasana di kapal ini, benar-benar harus bisa menjaga wibawa. Salah sedikit, dicibir. Dan Irfan tentu tidak mau dicap memiliki kelainan dari lelaki pada umumnya.

"Fan, ada minuman coklat?" tanyaku sambil membuka kulkas.

"Masih ada, kayaknya!"

Di setiap kamar kru memiliki lemari pendingin. Minuman dingin ini, masing-masing kru mendapatkan jatah per bulan. Cukuplah untuk satu bulan ke depan. Hanya saja, punyaku kebetulan sudah habis yang coklat. Aku tidak suka jus jeruk, soalnya. Dan di kulkas, di kamarku tinggal jus jeruk dan jus jambu.

"Fan, internet di kapal ini kan gratis, kencang lagi," kataku sambil membuka penutup susu coklat berbotol ini. "Aku rada blank dengan bahasa Inggrisku."

Irfan menatap bingung dan lalu kembali memainkan teleponnya. "So, do you want to talking to your girl—Ms. Maria?"

"Iya," jawabku, "tapi kalau login pakai HP, robotnya tidak jalan. Atau mungkin karena ram hp aku yang kecil kali, ya?"

Irfan mengangguk. "Bilang aja kalau mau pinjam laptop?"

Aku tersenyum seolah membenarkan. Dan Irfan memang membawa laptop kemana pun ia pergi. Dari laptopnyalah ia mengedit setiap video yang ia upload ke YouTube.

Dan lelaki itu sepertinya akan mati akibat stres bila tidak menyanyi seharian saja. Parahnya, semakin ke sini, aku juga suka dengar lagu-lagu dangdut. Terutamanya yang pernah dinyanyikan oleh Irfan di channel YouTube-nya. Mungkin karena suara Irfan, kali?

Tak dapat kupungkiri, suara Irfan memang khas. Serak dan seksi. Teknik menyanyinya benar-benar dipelajari pada satu lagu, lalu dia melakukan rekaman. Kemudian yang paling diperhatikan ialah editing.

Sudah pasti akan sangat enak didengar setelah melewati proses pengeditan itu. Bahkan, suara datarnya saja bisa ia tambah menjadi lebih vibra dengan halus. Atau, kadang nada suaranya kurang tinggi, bisa juga dia angkat. Sehingga terdengar sangat pas dengan musik. Profesional memang.

Entahlah, kalau dia live, mungkin nyanyiannya tidak sebaik dengan rekaman itu.

"Iya," kataku, "mumpung kapal masih tenang. Kamu tahu sendiri kan jika kapal sudah oleng kiri-kanan, kepalaku sudah pening."

RATINGWhere stories live. Discover now