Langkah 19

23 2 0
                                    

Aku yakin, dia menggunakan motor dan hafal betul warna dan nomor platnya. Jadi, tidak mungkin yang kutunggu telah pulang duluan. Dan ya, ini sudah satu jam. Haruskah aku bertahan di sini sampai magrib? Ini pekerjaan gila.

Ah, aku harus lebih bersabar lagi, kataku dalam hati lalu tersenyum mengingat Irfan. "Fan, aku pulang, ya!" Begitulah kataku kepada sahabatku sebelum menarik gas motorku melaju hingga berada di tempat ini.

Ya, aku pembohong.

Ya, aku licik.

Dan ya, aku sahabat tidak tahu diri.

Tujuanku memang pulang ke rumah, tapi ada hal lain yang ingin kulakukan sebelum benar-benar kembali ke rumah. Walau cukup was-was kalau saja misi menemui perempuan kecil itu ketahuan sama Irfan, bisa bonyok kepalaku ditonjoknya.

Sambil melihat-lihat ke dalam sana, yang banar saja, tinggal beberapa murid lagi, tapi tak juga kutemukan. Yang ditunggu tak kunjung keluar dari tempat parkir.

Walau sekolah ini cukup ramai, karena gabungan dari murid SMP dan SMA—dengan waktu bersamaan pulang—tapi tetap saja aku yakin bahwa dia belum berlalu dari pengamatanku.

"Pak, masih ada kelas yang belum keluar?" tanyaku kepada satpam di pos pintu masuk sekolah.

"Kalau dilihat dari motor yang terparkir, kayaknya masih ada, Dek Riang. Biasanya mereka pulang lebih lambat karena ada pelajaran tambahan." Lelaki itu sambil memeriksa jam tangannya. "Mau jemput anak kelas berapa?" lanjutnya sambil tersenyum. Pak Satpam memang mengenaliku. Berulang kali dia selalu membuka gerbang untukku, ketika terlambat—waktu sekolah di sini.

Di sekolah inilah aku belajar selama tiga tahun. Di sinilah aku dikenal sebagai murid paling sering terlambat, paling sering tertidur, paling sering bolos, dan yang paling parah akulah yang paling bodoh. Eh, tidak! Aku dan Irfan—lelaki yang suka meng-cover lagu dangdut itu dan akhir-akhir ini, karena perubahan sikapnya yang aneh, terlalu banyak berceloteh, kujulukilah dia si Centil Boy.

Dan yang pasti, di sinilah aku dan Irfan menjalin kebersamaan. Kebersamaan terbrutal dalam hidupku. Aku mengakui itu. Pasangan sahabat yang yang saling melengkapi. Satu gonta-ganti pacar, satunya lagi tidak pernah pacaran.

"Kelas, tiga, SMP Pak."

"Ow, biasanya mereka ada les," ujar Pak Satpam. "Pacarnya?" Seketika lelaki itu tersenyum, seolah mengerti saja jalan hidupku. Padahal dia sendiri tahu, selama sekolah di sini, belum pernah ia memergokiku membonceng perempuan.

Aku tersenyum. "Belum, Pak," jawabku, "Pak, boleh aku masuk? hanya untuk memastikan, apakah masih ada motornya ataukah dia sudah pulang."

Lelaki itu tersenyum licik. Bagaimanapun dia cukup tahu mengenai kehidupan anak remaja jaman sekarang. "Ya, silakan, Dek. Semangat!"

Ah, aku mengabaikan senyum meledek itu dan cepat-cepat ke tempat parkir. Memang masih banyak motor. Dan sangat besar harapanku untuk menemukan yang kucari.

Kupindai satu persatu hingga pada akhirnya kutemukan motor matic yang diparkir santai di pojok. Seulas senyum terbit di wajahku seketika. Alhamdulillah! ucapku dalam hati.

*

"Loh, Kak Riang, toh?" Suara yang tak asing membuat kepalaku refleks tersentak.

Dari sepatu kuteliti inci demi inci hingga tepat menatap mata berwarna coklat itu. Aku lalu tersenyum. Ya, aku duduk di motornya. Tak ada kata yang bisa terucap olehku untuk beberapa saat. Hanya mampu mengagumi. Wajah inilah yang terus membuatku rindu.

Aku pun tidak mengerti, ada apa dengan diriku? Dulunya aku tidak pernah seberani ini. Dan hei, ini pertama kalinya aku bertekad menemui seseorang perempuan dengan penuh kesungguhan.

RATINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang