Langkah 14

45 2 0
                                    

Segalanya akan terasa mudah jika yang diharapkan terkabulkan. Semua akan menjadi bahagia jika yang diinginkan jadi kenyataan. Hari ini, tepatnya pagi ini, aku telah memulai langkah, yang kuyakini akan mengubah seluruh naluri dan inspirasi hidupku ke depannya. Aku akan menjadi sesuatu. Sesuatu?

Hei! Aku akan jadi pelaut!!!

Tekat itu mantap membulat.

"Riannng, bangun, woi!?"

"Apa, sih!?"

Irfan mengacaukan semuanya. Lelaki yang terlalu macho dengan julukan dariku sebagai si Centil Boy memang tidak pernah sudi membiarkanku sedikit bahagia.

Aku mengerjapkan mata berulang kali. "Ah, kau ini, mengganggu saja, terus. Padahal, khayalan itu sudah dapat feel-nya."

"Idih, sok-sokan," ledek Irfan. "Ayo kita ke kantin. Materinya udah kelar dari tadi."

"Kamu merusak khayalanku, tahu?"

"Kamu itu tidak mengkhayal, Riang! Tidur lebih tepatnya." Anak itu tertawa di sampingku sambil memakai ranselnya.

Ternyata, hanya kami berdua di kelas. Aku tidak habis pikir kalau aku sedang bermimpi, tadi?

Gila, ini memalukan, bahkan sangat memalukan. Dan aku tidak menyadarinya. "Fan, kamu serius kalau aku tidur?"

"Ya elah, jadi kalau kamu tidak tidur, coba, apa kata terakhir dari ibu Meri tadi sebelum keluar?"

Fix, aku tertidur!

"Maaf, aku tidak niat tidur, padahal."

"Tidak niat, tapi ngorok!"

Aku hanya tersenyum malu dan bangkit dari bangku, mengikuti Irfan.

Tentu saja aku sangat mengantuk hari ini. Orang, semalam pukul dua aku baru tidur. Ini semua karena cerita sama Lutfi. Lepas shalat subuh, Om Aditya mengantar kami ke kosan, dan lalu ia pulang ke Bone.

Dan hari ini, hari pertama aku dan Irfan mengikuti diklat BST (Basic Safety Training). Sesuai namanya, basic berarti awal dari semuanya. Awal dari serentetan sertifikat yang harus aku ikuti. Paket lengkap yang harus aku jalani sebelum utuh menjadi pelaut.

Well, kwintansi dengan total pembayaran tujuh juta itu mengharuskan aku untuk tinggal di makassar selama dua bulan penuh.

"Riang, di mana kantinnya?"

"Kamu itu," kataku, "masakan tidak tahu di mana kantinnya? Tidak bisa baca apa?" Aku tertawa di belakang Irfan.

"So, do you know, where?" katanya sambil memutar punggungnya. "And how did I know if this my first day?"

Aku hanya tertawa. "Di dekat WC sana, ada yang tulisannya kantin, Fan!" jelasku sambil menunjuk ke arah timur.

"Lah, kok kamu tahu?" Irfan menatapku. "Kamu sudah ke kantin sebelumnya?"

"Kan, tadi aku ke toilet sebelum kelas di mulai. Kantin dan toilet satu lorong."

Yah, kampus ini seperti lorong-lorong yang tak ada habisnya. Terhubung antara bangunan satu dengan bagunan lainnya.

"Fan, itu sana kantinnya," kataku setelah kami berada tepat di depan ruang foto copy. "Dan toiletnya di depan sana! Just let you know!"

"Irfan menatapku seperti biasa. Mengesalkan sekaligus menjijikkan. "Thanks, Babe!"

"Fuck--" ucapku menggantung.

Dan dipotong Irfan. "Fuck to your handsome boy, right?"

"Irfan, sialan! Don't ever be like this, please! And stop calling me "babe" like that!"

RATINGWhere stories live. Discover now