Langkah 15

38 1 0
                                    


Dengan posisi kepala terbenam pada bantal di tempat tidur, aku mendengar samar suara Irfan, "What up, Bro?"

Entah siapa yang menelepon si Centil Boy itu pagi-pagi begini.

"Oke, wait me there."

What? dia mau dijemput?

Irfan lalu bergegas keluar dari kamar. Tanpa pamit. Ya, mungkin dia mengira aku masih tidur. Dan, aku juga sangat malas untuk bertanya.

Rasa lapar menggoda perutku dan memaksakan diri untuk terbangun dari kasur sialan itu. Selalu membujukku untuk bermalas-malasan.

Sepertinya, sarapan dengan mi instan, akan menjadi topik yang menarik. Aku lalu meletakkan cerek pemanas air di atas kompor gas dan lalu menyalakan apinya.

Sebagai anak manja di rumah atau lebih kerennya anak yang tidak pernah diharapkan melakukan sesuatu di rumah. Namun, tumbuh dan menjadi anak kesayangan, tentu memasak mie instan pun harus belajar. Dan itu pas di hari pertama aku berada di sini. Tentu hari ini aku sudah lulus tes. Mi instan buatanku lumayan enak. Wel, menurutku, sih.

Dan, di rumah kos inilah aku belajar memasak mi instan. Belajar memasak sayur. Memasak nasi. Belajar mandiri. Untung Irfan punya sedikit skill memasak, jadi aku bisa belajar dengannya. Di sini pulalah aku menikmati persahabatan dan kebersamaan kami. Makan bareng. Nonton bareng. Masak bareng, dengan resep dari google. Semua dikerjakan berbarengan. Eits... tidak jug sampai mandi bareng, ya!

Tinggal di sini, rasanya ada yang berubah dalam diriku. Sekarang, ya lihatlah! Setidaknya sudah bisa memasak mi untuk diriku sendiri.

Wow,dengan skill memasak mi saja aku jadi begitu sombongnya?

Kok kayak ada lucu?

Dengan fasilitas yang ada, harga sewa kosan ini sebenarnya cukup terjangkau. Dua juta untuk dua bulan.

Sempit sih, tapi praktis dan lengkap. Tempat tidur sekaligus tempat nonton TV. Meja makan sekaligus meja digunakan untuk menjamu tamu. Kali aja ada. Dapur mini, bersebelahan kamar mandi yang posisinya tidak mengurangi luas kamar dengan posisinya menjorok keluar.

Pintu terbuka dan ada Irfan di sana bersama seseorang.

Hei ada Lutfi di sana.

"Hello Riang! Good morning!" sapa Lutfi yang baru melangkah masuk.

Aku pun membalas senyum itu. "Pagi, Lutfi," Entah bagaimana caraku menyambut teman terbaik satu ini. "Sendiri?"

"Nessami," jawab Lutfi dengan logat peselancar Makassar, "habisnya mau sama siapa? Orang jomblo, kodong!"

[nesaami = benar sekali, kodong = kasihan, keduanya bahasa Makassar.]

Aku tersenyum lucu. O... jadi Lutfi bisa juga menggunakan logat Makassar? Dan, yang paling menarik, ternyata kami bertiga ini pasukan jomblo?

Laki-laki ganteng itu, sama sekali tidak memikirkan percintaan? Kok bisa? Ada apa?

Padahal, Irfan dan Lutfi sama-sama bisa jadi laki-laki yang diidam-idamkan oleh sejumlah kaum hawa di luar sana. Tapi kok semuanya memilih jomblo?

Dan aku?

Terus bagaimana denganku?

Kalau dibandingkan dengan mereka berdua, aku mah apalah?

Ganteng, tidak. Tinggi, tidak. Kekar, Tidak.

Kalau saja aku yang punya badan sekeren mereka, aku akan jadi bintang filem, minimal. Digemari banyak orang. Diinginkan banyak perempuan. Eh, bisa enggak, sih?

RATINGWhere stories live. Discover now