Langkah 1

238 6 0
                                    

"Riang, tidak usah kuliah, yuk! Kita jadi pelaut saja." Irfan seakan membutuhkan jawaban, tapi aku malah tidak menggubris.

Pelaut?

"Pamanku yang dulunya hanya tamatan SMK, malah sekarang sudah punya segalanya: mobil, rumah; bertingkat dua luas pula, sawah; membentang tak terhingga, peternakan apa lagi; sepertinya dia sudah punya 200 ekor induk sapi yang diberikan kepada orang lain untuk dipelihara dengan perjanjian bagi hasil, rata-rata dia punya 100 ekor bibit sapi yang lahir dalam setahun. Semua itu hasil dari melaut. Dia tidak pernah kuliah, setahuku."

Aku melongo. "Pamanmu kerja di kapal apa, kok bisa sekaya itu?" Hingga pada akhirnya, aku tertarik untuk mengorek informasi yang belum kupercayai.

"Di kapal pesiar." Irfan sedikit menghela napas. "Kapalnya gede banget, Riang!"

Aku sama sekali merasa tidak tertarik sebenarnya untuk menjadi pelaut. Namun, dalam kondisi seperti ini, terasa ada gejala-gejala tidak normal untuk mengetahui lebih dalam tentang paman Irfan yang pelaut itu.

"Riang, kalau kamu mau jadi pelaut, aku pun mau jadi pelaut. Biar bareng!" Irfan kembali menatap mataku penuh harapan. Karena ekspresi yang aku berikan tidak begitu meyakinkan Irfan kembali melanjutkan, "Riang, sebenarnya kamu punya rencana apa? Mau kuliah atau mau buka usaha?"

"Cie elah, buka usah, Fan...? Duit dari mana? Kamu tu ya, kalau nanya ngaco aja!"

Irfan tertawa kecil. Kebetulan sedikit gelombang oksigen menghembus. Cukuplah untuk menggantikan udara yang pengap di dalam kantin. "Terus mau kuliah?" tanyanya lagi.

"Tidak. Kamu kan tahu, aku orang yang tidak pernah ingin kuliah, malas melihat anak-anak di tempatku, rata-rata jadi sarjana yang bingung mau jadi apa. Padahal mereka itu orang-orang pintar semasa sekolah di SMA, bukan seperti kita ini."

Irfan kembali tergelak ramai. "Kalau gitu mau ngapain, coba?" sedikit mengerutkan kening, pertanda meminta penjelasan lebih mendetail, "Buka usaha tidak, kuliah tidak!"

"Ya... aku juga masih tidak tahu, Fan,"

Irfan melihat jauh ke depan sana. Aku tahu, dia yang memang memiliki tabiat suka melirik anak gadis yang lewat di depannya. Penyakitnya itu belum sembuh juga hingga sekarang. Sejenak kemudian ia kembali fokus dengan kalimatnya, "Riang ayolah kita jadi pelaut!"

Irfan menjadi sahabat terbaik yang pernah kukenal sejak hari pertama masuk sekolah hingga kami lulus ujian nasional. Bahkan, sampai hari ini, kami tetap akur. Perselisihan pendapat, terasa tidak pernah terjadi. Irfan yang sifatnya suka mengalah sangat cocok dengan watak egois yang bersemayam dalam diriku.

Salah satu alasan Irfan tidak pernah membantah persepsi dariku, dan pernah ia deklarasikan terang-terang bahwa, pendapatku memang selalu mengalahkan pendapatnya. Dia mengakui, aku lebih pintar 0,5 derajat dari kepintaran yang ia miliki.

Ya, aku dan Irfan memang tidak pernah tinggal kelas, tapi kami selalu terbawah dari murid lainnya. Irfan peringkat pertama dari urutan yang terakhir, dan aku setelahnya.

Ya, mungkin ada benarnya juga, usulan Irfan. Aku ini mau jadi apa? Kuliah dengan otak pas-pasan begini, paling ngabisin duit orang tua.

Dan, pertanyaannya: aku harus ngapain?

Ditambah lagi, mama sudah tiga kali menanyakan: mau kuliah di mana dan kapan.

Pertanyaan mamah yang seperti itu, seakan membuatku tidak punya alam seketika. Mungkin seperti itu ngerinya pertanyaan malaikat di dalam kubur kali, ya?

Jika seandainya usulan Irfan cocok buatku untuk mencari jati diri, aku harus mulai dari mana? Apa yang aku butuhkan jika hendak menjadi pelaut?

Apakah mungkin untuk menjadi pelaut yang seperti pamannya Irfan, memiliki trik tersendiri untuk sukses?


To be continued in the next day...

If you the first time met me. Don't forget to follow me by the link "follow" in my profile.

Also for you, Guys. You always support me for everything, and now, please give love for this work. If, you have any critic or advice for this story, do not hesitate to write in the comment below.

Thanks, guys... happy a good day.

RATINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang