8

3.4K 243 0
                                    

Saat makan siang Regina memilih untuk makan sendirian. Ia menolak ajakkan Fika untuk makan siang bersama. Regina pun memilih untuk makan siang terakhir. Alasannya hanya satu, ia tidak mau dan tidak sedang ingin berbicara dengan siapapun. Ia ingin menikmati kesenduannya sendirian. Manusia bisa merencanakan namun Tuhan yang menentukan. Berhasil lepas dari celotehan Fika, saat ini ia harus berhadapan dengan Martin yang juga makan terlambat.

Regina berusaha mengabaikan Martin agar cowok itu tidak duduk satu meja dengannya. Sekali lagi Tuhan sedang tidak ingin mengabulkan keinginannya, Martin tiba-tiba meletakkan piringnya di depan Regina. Tanpa sepatah kata pun, Martin melahap makanannya. Regina pun tidak sedang ingin basa-basi. Ia memilih diam dan membiarkan keheningan yang berbicara. Satu hal yang gadis itu tidak tau adalah Martin sedang menunggu Regina berbicara. Apa saja yang bisa mencairkan suasana ini. Beberapa kali Martin melirik ke arah Regina namun sepertinya gadis itu tidak dalam mood yang baik.

"Gue sekalian pamit ya, Gin" kata Martin tiba-tiba. Kalimat Martin barusan membuat Regina menghentikan suapannya. Regina tidak tau harus menjawab apa jadi ia hanya tersenyum tipis. "Makasih, ya. Sukses terus, Tin" kata Regina pada akhirnya. Kemudian gadis itu berlalu pergi. Ia menahan air matanya agar tidak keluar sekarang. Gin, calm down. Dia bukan siapa-siapa lo.. batin Regina.

Hari sudah sore. Jam menunjukkan pukul 5.00 sore yang artinya selesai sudah pekerjaan Regina hari ini. Martin pun terlihat membereskan laptopnya kemudian beranjak ke meja Ibu Sonya untuk berpamitan. Kemudian ia menyambangi satu per satu dimulai dari Ibu Rissa, Lea, Fika dan Vero. Saat berpamitan dengan Vero, nampak gadis itu berusaha tegar dan mengelus punggung tangan Martin yang dibalas dengan senyum tipis Martin. Mereka sibuk meminta foto pada Martin sementara Regina malah membereskan barang-barangnya bersiap untuk pulang.

Setelah meladeni predator wanita yang meminta foto padanya, Martin beranjak pada orang terakhir. Seseorang yang Martin rasa harus menjadi orang terakhir yang ia salami. Martin mengulurkan tangannya di hadapan Regina. Kemudian Regina yang sedang membereskan barangnya terpaksa harus mendongak melihat sebuah uluran tangan berkulit putih bersih di hadapannya. "Pamit ya, Gin" kata Martin. Regina menyambut uluran tangan Martin sambil berusaha tersenyum. "Kalo ada apa-apa kontak, ya. Kalo nggak bales telepon aja. Maafin kalo gue ada salah ya" kata Martin yang masih enggan melepaskan genggaman tangannya dari Regina. Hal ini tentu saja disaksikan oleh orang satu ruangan.

Regina yang sempat terpaku sepersekian detik mulai menyadari bahwa adegan genggaman tangan ini tidak wajar. Kemudian gadis itu tersenyum pada Martin. "Makasih banget ya, Tin udah mau ngajarin gue. Maafin juga kalo ada salah. Enak dong ya pulang ke rumah hehehe.." kata Regina sambil tertawa kecil. Kemudian Regina melepaskan jabatan tangannya dari Martin. Genggaman tangan ini menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir bagi Regina. Setelah ini tidak ada lagi Song Joong Ki-nya, tidak ada lagi oppa Korea-nya, tidak ada lagi Mas Crush-nya dan Regina bersiap akan hal itu.

"Udah kali, Tin. Gak rela amat pisah sama Regina" kata Aji dari ambang pintu. Ternyata Aji sedari tadi disana melihat tingkah kedua cinta malu-malu kucing yang enggan mengakui satu sama lainnya. Vero langsung berdehem dan mulai menyadari bahwa ada yang berbeda antara Regina dan Martin. Dengan bodohnya ia baru menyadari disaat terakhir. Pantas saja Martin menolak dirinya. Vero pun tidak bisa berbuat apa-apa karena memang ia tidak mungkin meninggalkan pacarnya demi Martin. Terlalu beresiko.

Sama halnya dengan Martin, Aji pun berpamitan kepada satu per satu team Marketing. Hingga tiba saatnya pada Regina, Aji membisikkan sesuatu. "Nyesel kan lo nggak ke Bromo bareng hehehe.." katanya sambil terkekeh. Kemudian Regina memukul pelan lengan Aji sambil cemberut. Kok jadi lucu gini, batin Martin. Setelah selesai berpamitan, Aji dan Martin undur diri. Berakhir sudah kisah cinta monyetnya dengan Martin.

Di saat-saat terakhir ini, demi menyelamatkan Martin dari Vero serangan Regina dimulai. "Kalo kalian balik sekarang berarti nggak bisa dateng ke nikahan Mbak Vero dong, ya?" ujar Regina usil. Aji menelan ludah, Martin.. biasa saja. Vero terlihat sedikit kaget namun berusaha untuk tetap tersenyum seperti bidadari. Menjijikan, batin Regina. "Minta doanya aja semoga lancar" jawab Vero setengah meringis. Haha.. Ngaku juga kan, lo?! batin Regina lagi. Kemudian ia melihat Martin yang nampak biasa saja. Tidak ada raut wajah kecewa ataupun cemburu. Seperti sentilan yang Regina ucapkan tidak berarti. Biarlah menjadi rahasia apa yang ada di benak Martin saat ini. Yang terpenting, Vero sadar bahwa Martin bukan untuknya.

Aji sudah sibuk menggeret kopernya kesana-kemari sementara Martin dengan tenang duduk di sebelah Regina sambil bermain handphone. Mereka berdua menunggu driver untuk mengantar keduanya menuju bandara. Regina sesekali melirik ke arah Martin. Mulai besok wajah tampan ini tidak lagi bisa ia lihat. Bagaimana jika ia tiba-tiba rindu? Bahkan sosial medianya saja Regina tidak tau.

"Mari, mas Martin dan mas Aji. Mobilnya sudah siap" ujar Pak Bram driver kantor. Regina menoleh. Perasaannya resah sekali. Namun mengapa lelaki ini tampak biasa saja? Jelas, Gin, dia biasa aja! Emangnya lo siapa? batin Regina. Martin kemudian bangkit berdiri dan melambaikan tangan pada seisi ruangan sebagai tanda perpisahan. Begitu juga dengan anak-anak yang lain membalas lambaian tangan Martin dan Aji. Saat Martin hendak menarik kopernya, ia menoleh pada Regina. Gadis ini dari tatapannya nampak biasa saja. Kemudian Martin mengulurkan tangannya. "Bye, Gin. Makasih, ya selama disini udah baik banget walaupun nggak jadi kemana-mana. Maaf kalo gue ada salah" kata Martin. Regina pun menjabat tangan Martin sambil tersenyum, "sama-sama". Jabatan kedua sekaligus yang terakhir.

Sepanjang perjalanan menuju bandara, Martin terlihat bolak-balik mengecek ponselnya, kemudian melihat ke arah jendela, mengecek ponselnya lagi kemudian merubah posisi duduknya. Ia terlihat gelisah namun tidak tau apa yang menganggunya. "Lo kenapa jadi kayak cacing kepanasan?" tanya Aji tiba-tiba. Aji menyadari keanehan partner kerjanya ini. "Pengen cepet-cepet pulang gue" kata Martin berbohong. "Pengen cepet-cepet pulang atau nggak tega ninggalin yang disini?" goda Aji. Diam-diam Pak Bram melirik dari kaca spion tengah. "Yaaa.. khawatir doang sih. Regina kan baru, jadi pasti kurang waktu trainingnya" kata Martin. "Lo suka ya sama Regina?" tanya Aji to the point. Martin sontak menoleh dengan raut wajah kaget sekaligus bingung. "Makin ngaco lo ya!" balas Martin.

Martin melihat kearah jendela. Terlihat hamparan rumput luas di sepanjang sisi jalan tol. Sangat berbeda dengan Jakarta yang sudah dipenuhi gedung-gedung tinggi. Martin bertanya pada hatinya, apa benar ia menyukai Gina? Gadis unik yang terlihat acuh padanya. Satu-satunya perempuan yang tidak terpengaruh oleh fisiknya. Selain Gina yang sangat cuek, Martin mulai membayangkan cara tertawa gadis itu saat di kantor. Kemudian saat Gina menggaruk-garuk kepalanya saat ia berusaha memahami sesuatu. Satu per satu memori tentang Gina muncul di kepalanya. Tanpa sadar ia tertawa kecil. Unik. Hanya itu yang bisa ia deskripsikan saat ini. Entah apa yang ia rasakan, Martin masih menerka-nerka. Namun jika setelah ini ia merindukan gadis itu, Martin bisa memastikan bahwa memang ia menyukai Gina.

****

Regina seharian ini hanya melamun di mejanya. Ternyata merindukan seseorang itu lebih menyakitkan daripada putus cinta. Apalagi Regina belum sempat mengajak Martin 'kencan'. Ia ingin tau apa yang menjadi kesukaan Martin, bagaimana kehidupannya sehari-hari atau mungkin Regina bisa bertanya apakah Martin saat ini sedang naksir seseorang? Regina berharap tidak.

Tidak ada lagi pemandangan indah saat Regina sedang suntuk-suntuknya. Tidak ada lagi seseorang yang duduk di sampingnya. Hanya dengan melihat Martin semua lelah Regina sirna. Namun apa daya, waktu akan terus berjalan bukan? Dengan atau tanpa Martin disini. Begitupun yang dirasa oleh Martin. Sepanjang perjalanannya menuju Jakarta, lelaki itu gusar. Meskipun ia sangat merindukan rumah namun tidak ada lagi gadis unik seperti Regina yang akan mengisi hari-harinya yang gelap. Martin memang tidak pandai bergaul, tidak pandai melucu. Sesungguhnya ia membutuhkan teman seperti Regina yang bisa membuatnya lebih hidup. Maka untuk mengobati rasa kecewanya, Martin membuka handphonenya, melihat satu-satunya foto wanita yang ada di galeri handphone nya. Sebuah foto Regina yang sedang tersenyum dengan baju kemeja garis orange, biru dan putih. Tentu saja foto tersebut dia dapatkan dari display picture sosial media Regina. Martin memang se-cupu itu. Setelah puas melihatnya, Martin tersenyum, menyimpan ponselnya ke dalam saku dan setidaknya ia masih bisa melihat Regina meskipun gadis itu jauh disana.

ReveuseWhere stories live. Discover now