***

Mia melirik ke arah kubikel Ellena, lalu menghela napas panjang. Wanita itu masih mengabaikannya. Biasanya, ketika Mia tiba di kantor, Ellena senang mengajak berbincang tentang apa pun. Namun, hari ini, perempuan itu diam seribu bahasa. Ia bahkan tidak menoleh untuk sekadar menatap kedatangan Mia, seolah mereka sedang berada di dunia yang berbeda, dan Mia tidak terlihat olehnya.

Mia mulai jengah. Bagaimanapun, Ellena adalah satu-satunya teman baik yang ia miliki di Harvest Corps, dan rasanya sangat aneh ketika mereka berperan menjadi orang asing bagi satu sama lain. Didorong pemikiran tersebut, Mia beranjak dari kursi dan menghampiri Ellena.

"Elle, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Mia.

"Aku sedang sibuk." Ellena menyahut singkat, tanpa mengangkat wajah. Ia tampak fokus menuliskan sesuatu di atas kertas. Tepatnya berpura-pura fokus, sebab sebelum Mia menghampiri, wanita itu terlihat membaca sesuatu di layar ponsel.

"Aku ingin menjelaskan kenyataan yang sesungguhnya. Semua tidak seperti apa yang kau pikirkan, Ellena." Mia berkata lagi.

Kali ini, Ellena mendongak, matanya menatap Mia dengan tajam. "Kurasa, aku tak perlu mendengar apa pun lagi darimu. Semua gambar yang beredar sudah sangat jelas. Oh, atau jangan-jangan, kau ingin menyampaikan sesuatu yang lebih spektakuler, semacam berencana menikah dengan Mr. George, begitu? Ingin menyombongkannya di depanku, huh?"

Menyaksikan reaksi Ellena, Mia meneguk ludah.

"Sebaiknya, kau tak usah mendekatiku lagi. Aku benar-benar tidak ingin berbicara denganmu." Usai mengatakan hal tersebut, Ellena bangkit dari kursi, berjalan melewati Mia begitu saja. Sedang Mia hanya mampu memandangi punggung gadis itu, benar-benar kehilangan akal untuk menghadapinya.

Tepat saat itu, tiba-tiba saja Shirley memasuki ruangan. Ia berjalan menuju kubikel Mia dengan gaya angkuh, kedua tangannya terlipat di depan dada. "Padahal, tadinya aku berharap menemukan buket bunga di meja ini," sindirnya, seraya menunjuk meja kerja Mia dengan gerakan dagu. "Sudah tidak ada, huh?"

Mia menghela napas. Bagus. Masalahnya dengan Ellena belum selesai, lalu sekarang muncul masalah baru.

"Kau mengerjakan tugas yang kuberikan kemarin, bukan?" tanya Shirley.

Mia mengangguk. "Tentu, Miss. Pagi ini, saya akan mengirimkannya ke e-mail anda."

"Baguslah kalau begitu. Kupikir, setelah menjalin hubungan dengan manajer, kau akan bersikap semena-mena dengan tugas yang kuberikan."

"Saya tidak mungkin melakukan itu, Ms. Addison," sanggah Mia, mulai tidak nyaman dengan gaya bicara Shirley yang halus, tetapi menyudutkan.

"Jadi ... bagaimana rasanya berpacaran dengan atasanmu sendiri, Mia? Menyenangkan?"

Mia kembali menghela napas. Sedalam mungkin. Berusaha meredam kemarahan yang merangkak naik ke kepala. Demi Tuhan, mengapa di dunia ini harus ada orang-orang macam Shirley? Tidak tahu kebenaran yang ada, tetapi berani mengambil kesimpulan dengan seenak hati.

"Mohon maaf, Miss. Sepertinya Anda salah paham, saya dan Mr. George—"

"Tidak memiliki hubungan apa pun?" Shirley menyela. Terdengar tawa melecehkan dari bibirnya. "Lalu kau pikir, aku akan percaya? Aku tidak sebodoh itu, Mia."

Mia mengepal tangan di sisi paha, mati-matian menahan bibir untuk tidak mengumpat di depan Shirley. Oh, ya ampun, jika saja wanita itu bukan atasannya, atau posisi mereka di luar kantor, Mia tidak yakin dapat menahan diri untuk mencakar wajah angkuh Shirley.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal, Mia. Jangan pikir kau akan mendapat perlakukan spesial, hanya karena berpacaran dengan Mr. George. Aku tidak akan segan-segan merekomendasikan pemecatanmu kepada Mr. Clifford, jika kau tidak mengerjakan tugas dengan benar." Setelah mengucapkan kalimat bernada ancaman itu, Shirley berjalan pergi meninggalkan Mia. Tak lupa, ia menyisakan tatapan tajam, seolah mengatakan bahwa Mia tidak sedang dalam posisi baik-baik saja.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang