"Ma, tolong jangan nanya-nanya yang nggak penting," sergah laki-laki itu. "Febe lagi sedih. Kalau ada yang Mama pengin tau, tanya aku aja. Semuanya aku tau, kok."

Febe tahu maksud Kennan baik. Namun dia tak mau terus-terusan 'bersembunyi' di balik punggung suaminya. "Ken, aku nggak apa-apa, kok. Lagian, Mama cuma nanya soal Ibu."

"Kamu nggak usah takut deh, Mama nggak bakalan ngapa-ngapain istrimu," imbuh Lydia. "Kamu kira, Mama nggak tau etika, apa? Mama cuma mau ngobrol sama Febe. Kamu temenin Papa, deh!"

Kennan akhirnya mengalah, meski wajahnya jelas-jelas menunjukkan bahwa dia melakukan itu dengan terpaksa. Laki-laki itu meninggalkan istri dan ibunya untuk menghampiri Hisham. Jarak antara area pemakaman dengan rumah keluarga Febe tidak terlalu jauh. Semua memutuskan untuk berjalan kaki saja.

"Soal Irina, dia tetap saja adik saya, Ma. Cuma dia keluarga saya yang tersisa sekarang ini. Selain itu cuma ada om dan tante atau kerabat jauh orangtua saya. Sementara ibu kandung saya tidak memiliki keluarga sama sekali. Jadi, saya selalu berusaha untuk lebih sabar menghadapi Irina." Febe berdeham. "Khusus soal Kennan, saya bersyukur Irina kabur. Karena saya akhirnya menemukan jodoh saya, laki-laki yang memang saya butuhkan." Sesaat setelahnya, Febe terbatuk-batuk. Apakah dia terlalu berlebihan mengucapkan kata-kata itu di depan ibu mertuanya. "Maaf ya Ma, kalau kata-kata saya dianggap nggak sopan. Saya nggak punya maksud jelek," imbuhnya buru-buru.

Tanpa terduga, Lydia menjawab, "Nggak apa-apa. Mama kira cuma Kennan doang yang jatuh cinta sama kamu. Justru bagus kalau kamu juga punya perasaan yang sama. Jadi, Mama nggak merasa bersalah karena punya andil besar dalam pernikahan kalian. Oh ya, Kennan ngomongin perasaannya di depan semua orang. Anak itu memang nggak juga dewasa, membahas cinta-cintaan di depan papa dan mamanya."

Febe tak bisa menahan senyum. Ketegangannya sudah berkurang. Namun dia tahu, ada yang harus dituntaskan dengan Lydia. Dia tidak tahu apakah ini waktu ideal atau tidak. Jika ditunda-tunda terus, Febe cemas masalah ini akan menjadi bom yang akan menghancurkan semua orang. Sudah cukup dia mengulur waktu.

"Fe, mungkin waktunya nggak cocok. Tapi kok Mama pengin kita ngobrol dikit, ya?"

Febe langsung merespons. "Mama mau membahas soal aborsi yang pernah saya lakukan, ya? Saya pernah berkali-kali mau ngomong langsung sama Mama tapi dilarang Kennan. Jangan marahin dia ya, Ma. Kennan cuma ...."

Febe mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan suaminya tapi dia tidak memiliki waktu yang cukup. Pasalnya, Lydia sudah menukas. "Mama tau. Kennan udah cerita segalanya. Termasuk pengakuan dari laki-laki yang bikin kamu hamil."

Febe kaget. "Oh ya? Kapan Kennan ngomong, Ma?"

"Nggak lama setelah kejadian kamu mukulin laki-laki itu."

Oh, itu artinya sudah hampir dua bulan berlalu. Febe tak tahu caranya merespons. Karena walau sudah mengetahui apa yang terjadi, ibu mertuanya masih bersikap menjaga jarak, jika tak mau disebut memusuhi. Karena itu, Febe hanya bergumam tak jelas. Dia dan Lydia menyeberangi jalan.

Saat menoleh ke kanan, Febe mendapati Irina sedang berjalan berdua dengan Nigel. Wajah Irina tampak mendung sementara sang kekasih sedang bicara. Tadi Irina sudah memberitahunya akan menikah dengan Nigel dua minggu lagi. Secara pribadi. Artinya, Febe tidak diundang. Bukan masalah besar. Febe justru lega karena tidak harus menghadiri acara itu. Sehingga dia tak perlu berpura-pura menahan muak melihat Nigel yang tetap ditempatkannya sebagai laki-laki paling berengsek nomor satu di dunia Febe.

"Maaf ya, Fe. Mama cuma nggak tau caranya ngomong sama kamu. Selama berminggu-minggu, Mama udah mikir yang jelek tentang kamu. Sampai marah sama Kennan segala." Lydia menghela napas. Febe berpaling, menatap ibu mertuanya dengan kaget. Dia selalu membayangkan mereka akan beradu argumen tentang masalah itu. Febe bisa melihat ketaksukaan Lydia padanya. Ataukah dia yang menilai terlalu berlebihan?

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang