Dua

49.3K 4.4K 127
                                    

Melihat Rosita kehilangan kesadaran, Kennan langsung melompat dari tempat duduknya. Namun dia tak sempat mencegah perempuan itu terjerembab ke lantai dengan suara debam mengerikan. Sementara Febe langsung memanggil-manggil ibunya dengan panik, menepuk pipi dan mengguncang bahu Rosita. Kennan pun seketika merasa bersalah.

Febe memintanya membopong Rosita dan menempatkan perempuan kurus itu ke sofa. "Nggak dibawa ke UGD aja? Di dekat sini kan ada rumah sakit." Kennan memandang Febe dengan panik. Dia tidak pernah menyaksikan orang pingsan di depan matanya.

"Nggak usah. Aku manggil dokter dulu," kata Febe cepat. Setelahnya, perempuan itu berteriak memanggil Dila dan menggumamkan sederet perintah.

Kennan Arkadia lebih banyak menjadi penonton saat Febe kembali dengan seorang dokter yang masih muda. Dia menahan napas berdetik-detik selama dokter memeriksa Rosita. Setelah dipastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja dan tak lama kemudian siuman, Kennan tak bisa menggambarkan perasaan leganya.

"Ken, kalian ribut atau apa sampai Irina nggak mau nikah?" Rosita berusaha menginterogasi Kennan setelah siuman. Dokter yang ternyata tinggal di sebelah rumah keluarga itu, pamit setelah meyakinkan Febe bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan.

"Kami nggak ribut, Bu," balas Kennan. Dia enggan jadi penyebab Rosita kembali kehilangan kesadaran. Dia memang tahu jika kondisi kesehatan perempuan itu tidak prima.

"Irina nggak ada di kamarnya ya, Fe?" Rosita mengalihkan tatapan ke arah Febe yang tergopoh-gopoh ke ruang tamu itu dengan sebuah nampan. Ada dua gelas teh yang masih mengepulkan asap dan mi kuah.

"Bu, nggak usah ngomongin Irina dulu. Sekarang Ibu harus makan, jangan sampai pingsan lagi." Febe meletakkan salah satu mangkuk berisi mi di depan Kennan. "Kamu juga. Pagi-pagi ke sini pasti nggak sempet ngisi perut. Jangan ada lagi yang tumbang gara-gara belum sarapan." Febe mengucapkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Kennan.

Lelaki itu mengagumi Febe dalam cara yang negatif. Bagaimana bisa perempuan itu memikirkan tentang sarapan di saat segenting ini? Kennan sama sekali tidak lapar. Bahkan mungkin hingga tahun depan pun dia takkan berselera mengisi perut karena apa yang dilakukan Irina.

Mereka berpacaran hampir dua tahun dan bersepakat untuk menikah. Selama ini, tidak ada masalah berarti yang membuat Kennan meragukan pilihannya. Kadang, Irina memang sensitif dan bisa mendadak bersikap menyebalkan tanpa alasan jelas. Atau berubah sinis hingga mengucapkan kalimat yang menyilet. Namun, Kennan bisa memaklumi itu semua. Karena di sebagian besar waktu, Irina adalah perempuan menyenangkan yang layak dicintai.

"Bu, sarapan dulu, ya? Kalau makanannya udah habis, baru kita bahas soal Irina."

Suara bernada membujuk yang dilisankan Febe membuat monolog di dunia Kennan pun runtuh. Perhatiannya mau tak mau tertuju kepada objek di depannya. Febe duduk di sebelah kanan ibunya, berusaha membuat Rosita mulai menyantap makanannya. Tangan kanan Febe terangkat ke udara, bersiap menyuapi ibunya.

"Gimana Ibu bisa makan dalam situasi kayak gini, Fe?"

"Irina juga nggak bakalan muncul di sini kalau Ibu nggak mau makan. Sekarang ini, Ibu harus mikirin diri sendiri dulu sebelum mulai pusing gara-gara anak itu."

Perempuan yang seharusnya menjadi kakak ipar Kennan itu ternyata memiliki persediaan kesabaran yang cukup mengagumkan. Karena akhirnya dia berhasil membuat Rosita mulai makan. Kennan sama sekali tidak tahu Febe memiliki kualitas tersebut. Selama ini, dia sudah telanjur antipati pada Febe karena banyak alasan.

"Kamu makan juga, Ken. Tehnya juga diminum, biar perutnya hangat." Febe mengerling ke arah makanan di atas meja kaca yang masih belum disentuh Kennan.

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang