AKU INGIN BEBAS

352 11 6
                                    

Suatu malam, mereka berbaring saling bersebelahan di atas ranjang, menatap langit-langit kamar, bersembunyi di balik selimut tanpa sehelai pakaian pada tubuh keduanya. Mereka baru saja bercumbu, Regi adalah pemuda kere, pengangguran garis keras, sedangkan yang disebelahnya itu adalah gadis sebayanya, anak pengusaha kaya raya, dia bekerja sebagai wanita penghibur, dan tidak seorangpun pernah tau apa alasannya kecuali Regi. Namanya Nera.

Ketika Nera menceritakan asal usulnya, Regi terkejut dan setengah percaya. Tapi suatu ketika Nera mengajaknya Regi ke rumahnya, untuk membuktikan bahwa ia jujur walaupun saat dia membuat pengakuan tentang dirinya, Nera sedang dalam keadaan mabuk berat.

"Kenapa kamu memilih jalan hidup seperti ini, Ner?" Regi akhirnya menanyakan itu pada gadisnya, gadis yang tidak juga bisa diklaimnya sebagai pacar atau pasangan. Hanya sebatas mencocokkan keinginan, itulah hubungan mereka.

"Itu pertanyaan yang pasti sudah lama kami tunda" tebaknya dan ia tersenyum "Hidup ini rumit, Gi. Aku kira banyak orang yang ingin menjadi anak dari orang tuaku karena mereka memikirkan kemiskinannya atau kemelaratannya, seperti kamu yang selalu mengeluh karena tak punya ijazah dan menjadi pengangguran. Seakan-akan nasib terbaikmu adalah ketika menyetubuhiku secara gratis. Tapi asal kamu tau, aku orang yang siap menukarkan posisi itu, karena menjadi anak dari orang tuaku ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Aku hanya ingin bebas" pungkasnya.

"Kamu gila. Kamu bicara seperti itu karena kamu belum merasakannya langsung, kamu hanya membayangkan dan berpendapat sesuai khayalanmu" tuduh Regi dengan gamblang. Percakapan dengan Nera memang selalu membuatnya seperti mengobrol dengan makhluk ajaib yang sangat berbeda dengan orang lain yang dikenalnya.

"Mungkin. Dan sepertinya kamu juga sama sepertiku, bahagia terlahir di keluarga mapan juga tak lebih dari halusinasimu saja. Jadi berhentilah iri padaku, kenalilah aku sebagai pelacur jika hanya dengan cara itu kamu bisa menganggapku tidak lebih dari siapapun. Aku tidak ingin merasa beruntung dari siapapun, itu tuduhan yang membabi buta" tegasnya penuh kelugasan.

"Tapi apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk meraih kebebasanmu? Tentu bukan dengan menjadi seperti ini"

"Baik katamu? Baik dan buruk itu hasil akhir, bukan? Aku belum merasa ini titik terakhirku. Juga aku tidak perduli dengan pendapat benar salahmu. Kau harus tau, kebebasan bukan pemberian, bukan hasil kalkulasi antara kebaikan dan keburukan, kebebasan mesti direbut, dengan cara yang kita tentukan sendiri secara sadar. Aku sadar apa yang aku lakukan, dan ketika orang tuaku tau, mereka akan murka atau mungkin terkena serangan jantung, aku akan di usir, aku menjadi gembel, kelaparan, tapi mungkin aku akan terbebas dari penderitaan dan pakasaan mereka. Kurasa itu setimpal?" Nera tersenyum tipis, tapi sangat dingin, seolah ia menghayati betul setiap ucapannya.

"Tapi bisa dengan jalan pintas, bukan? Kabur dari rumah misalnya" Regi seperti memberi saran alternatif.

"Betul. Aku pernah berpikir seperti itu. Tapi sekali lagi, kebebasan mesti direbut. Secara total, maksudku. Kalau aku sekedar kabur, aku hanya akan membawa separuh kebebasanku, karena manatau orang tuaku sekedar merasa bersalah, menemukanku dan meminta maaf lalu memberikan apa yang aku inginkan. Itu tidak total" Nera mengerjapkan matanya sebentar "Tapi andai saja dia tau kalau anaknya seorang pelacur dan dia memaafkan ku, tidak mengusirku, dan membjarkanku untuk tetap menjadi pelacur, maka kuanggap bahwa mereka secara sadar menghargai kebebasanku. Bukan kuminta lalu diberikan. Kabur dari rumah itu hanya upaya cengeng agar mereka bisa kuajak bertransaksi dengan mereka demi kebebasan. Kebebasan bukan perdagangan; direbut dengan segala konsekuensinya, Gi" terangnya.

"Aku benar-benar sulit memahami jalan pikiranmu, Ner. Entah apakah aku harus kagum atau sebaliknya. Aku tidak mengatakan apa yang kamu pikirkan tidak masuk akal, tapi memang tidak mudah untuk diterima" Regi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku juga tidak menuntut untuk diterima atau disepakati, itu hakmu, kebebasanku dibatasi oleh kebebasanmu, begitupun sebaliknya" terdengar sinis Nera bicara "apakah kamu tau, bahwa kamu bisa menikmati tubuhku karena apa?" Dia menoleh, menusukkan matanya tajam ke arah Regi. Dan Regi terpatung diam "Karena kebebasan. Aku ingin bercinta denganmu karena aku punya perasaan khusus padamu, dan entah kamu melakukannya dengan alasan apa, mungkin tidak sama, itu bukan urusanku. Kamu sendiri paham, aku bukan pasanganmu yang bisa setiap saat melakukan ini denganmu karena sudah menjadi tugasku untuk memuaskanmu. Bukan. Tapi aku melakukan ini denganmu ketika aku benar-benar menginginkannya, hanya kebetulan juga kamu menginginkan hal yang sama. Jadi ini bukan terjadi karena kita terikat, kita tidak saling terikat, kita hanya punya keinginan yang sama dan di dukung kebebasan masing-masing tanpa menggores kebebasan satu sama lain. Adil, bukan?" Mereka tertawa akhirnya.

"Jika kamu berhasil merebut kebebasanmu, apa yang akan kamu lakukan?" Kini Regi menikmati dan terbawa arus ucapan Nera.

"Aku akan berhenti menjadi pelacur, dan memulai kehidupan yang sepenuhnya baru. Aku ingin menjadi petani, menjadi pengusaha anggrek atau mawar. Dan aku juga ingin punya perpustakaan kecil di dalam rumah yang kubangun di tepi danau. Lalu mati dengan tenang di sana. Maukah kau mewujudkannya untukku?"

"Entahlah, Ner. Aku masih belum yakin tentang perasaanku" jawab Regi terus terang.

"Tidak mengapa. Aku tidak mungkin memaksamu kendati bisa kulakukan. Kamu harus bebas sebagaimana aku ingin bebas, dengan segala konsekuensinya. Ingat itu" Nera tentu kecewa, tapi dia berusaha menghargai kejujuran Regi. Pun memang tidak mungkin ia punya hasrat merampas kebebasan Regi, walau secuil.

***

Cerita ini fiktif, tapi bisa saja pernah terjadi, tidak bisa kupastikan soal itu. Percakapan yang aku rangkai sesederhana ini mungkin sulit untuk dipahami beberapa orang. Aku memang bukan penulis handal dan surplus bakat.

Tulisan ini hanya secara spontan kubuat saat aku mengingat seorang gadis yang pernah kutemui, sekaligus aku juga coba bertanya pada diriku sendiri apa itu kebebasan.

Apa yang aku tulis bukanlah kesimpulan atau benang merah tentang kebebasan yang aku pikirkan. Aku hanya coba meletakkan pertanyaan-pertanyaanku, menjawabnya sendiri. Ini hanya bagian dari liarnya imajinasi.

Dalam beberapa hal, memang seringkali pikiran kita dihinggapi pertanyaan-pertanyaan mendasar, yang sekiranya mengakar secara radikal. Namun itu barangkali hanya satu bagian cara dalam merefleksikan diri. Kita hanya butuh mengenal diri kita sendiri, mencoba menggali makna filosofis apa yang tiba dalam pikiran dan mengganggu batin kita.

Setiap orang punya keresahannya, punya pengalaman batinnya, dan berhak mengajukan keraguannya. Kebebasan hanya satu dari kian banyak hal yang sejatinya melekat dan tidak terpisah dalam diri manusia. Itulah mengapa orang tidak ingin ada sesuatu menghalanginya.

Mungkin kamu punya keresahanmu sendiri, jika berkenan dan butuh medium berbagi, mencoretlah di kolom komentar, kawan. Mungki kita bisa saling bertukar pikiran.

Baiklah, aku tutup tulisan ini dengan satu kalimat: "Biarkan sepi itu datang memeluk kemanusiaan yang ada dalam tubuhmu, karena sepi selalu membawa hujan bagi kegersangan jiwamu"

Thanks, sob!

DISKUSI ANAK MUDAWhere stories live. Discover now