Satu Tahun Sudah Tanpa Bapak

74 6 9
                                    

Hari ini saya menyempatkan diri dan memilih untuk menulis di sini demi meluapkan apa yang perasaan saya alami. Bukan apa-apa, saya bukan tipe manusia yang senang mengungkapkan perasaan secara gamblang di platform sosial media mainstream.

Bukan hanya itu, kali ini saya ingin mengungkapkan dan bercerita mengenai beberapa hal, yang menurut saya tidak memungkinkan untuk saya lakukan di sosial media mainstream itu.

Hari ini saya merasa agak rapuh, dan tidak akan malu untuk mengakuinya.

Di sini, saya akan menceritakan sesuatu yang sangat personal dan sentimentil, dan tentu saja ini adalah di luar kebiasaan saya.

Tapi saya tidak perduli. Apakah ini layak saya tuliskan di sini atau tidak. Satu-satunya yang saya pikirkan, saya ingin melakukannya.

Jadi begini:

Hari ini adalah persis satu tahun sudah saya tanpa Bapak. Sosok laki-laki yang selalu saya kagumi, yang telah pergi untuk selama-lamanya, ke pelukan kehidupan yang lain.

Saya berusaha untuk merasa baik-baik saja dan tidak memikirkannya. Tapi ternyata sulit, sejak bangun pagi tadi, saya merasa jiwa saya tidak utuh.

Tentu saja saya sedih jika mengingat dan menyadari bahwa Bapak sudah benar-benar tidak ada. Saat ini dirinya adalah kenangan-kenangan sederhana yang rasanya ingin saya ulangi.

Saya tidak menyesali sesuatu apapun, karena saya merasa telah melakukan hal yang semestinya untuk Bapak di akhir-akhir hidupnya. Pun saya merasa bangga bisa membersamainya pada detik-detik itu, seolah itu adalah penebusan atas kesalahan-kesalahan saya kepadanya. Saya rasa itu cukup meskipun tentu tidak bisa dianggap setimpal.

Namun kehilangan tidak pernah bisa diobati dengan tidak adanya rasa penyesalan. Kehilangan tetaplah kehilangan, yang meninggalkan lubang di dalam hati.

Lalu, pada saat ini saya merindukan momentum ketika bersama dengannya.

Dulu, saya dan Bapak sesekali duduk berdua di teras. Mendengarkannya saat ia menceritakan sejarah hidupnya.

Ceritanya selalu sama, tapi saya senang bisa mengobrol dan berdialog dengannya.

Terkadang juga kami bicara ringan soal negara dan politik. Itu topik yang sama-sama kami sukai.

Saat itu, kami kerap beradu pendapat, karena tanpa digariskan, memang kami punya pandangan garis politik yang sangat bertolak belakang. Tapi justru karena itulah kami bisa menikmati obrolan yang lebih panjang.

Ah, sayang. Hari-hari itu tidak akan bisa kami ulang kembali.

***

Setelah bapak pergi untuk menyusuri dimensi hidup yang lain. Banyak hal yang terjadi. Paling tidak, kepergiannya sangat berpengaruh bagi kehidupan saya.

Bukannya saya merasa layak untuk menggantikannya. Tapi mau tidak mau atau suka tidak suka, pada akhirnya memang saya yang harus menjalankan sebagian tugasnya.

Saya tidak bersaudara, tapi setelah Bapak tidak lagi ada, hanya saya yang memungkinkan untuk pulang ke rumah, menemani ibu dan hari-harinya. Namun bukan saya merasa paling hebat, semua ini memang karena kondisi dan situasi, dimana kakak saya tidak mungkin melakukannya.

DISKUSI ANAK MUDAWhere stories live. Discover now