Membaca Ulang Makna Hidup Dalam Buku Pernikahan

29 1 0
                                    

Hai!? Saya baik-baik saja walaupun mungkin kamu tidak merasa penting mengetahui keadaan saya.

Saya hanya mau mengabarkan, bahwa setelah harus mengganti gadget, saya baru kembali mendownload aplikasi ini, kira-kira satu menit yang lalu. Itu juga barangkali tidak penting bagimu.

Benar. Kamu sudah seharusnya merasa semuanya tidak penting, kecuali apa yang kau anggap penting.

Kali ini juga aku ingin menulis sesuatu yang lagi-lagi mungkin tidak penting bagimu. Artinya, kita sependapat, aku juga merasa ini tidak begitu penting.

Tapi seperti biasa, saya selalu melakukan apapun dengan motif bahwa saya ingin melakukannya.

Jadi begini:

Enam bulan yang lalu, namaku tercatat di dalam beberapa lembar undangan, berikut nama orang lain. Undangan itu untuk kerabat dan beberapa orang yang sebenarnya tidak saya kenal.

Intinya, undangan itu adalah undangan pernikahan saya dan seseorang yang saat ini sudah secara sah boleh mengklaim saya sebagai suaminya. Uhuy!

Tidak perlu saya ungkapkan di sini mengenai alasan dan hal lainnya tentang mengenai kenapa pernikahan itu akhirnya terjadih, Bukan apa-apa, aku khawatir saya terkesan pamer.

Apapun itu, hidup ini memang seperti buku tak berujung dan tanpa halaman. Saya hanya membacanya dan berusaha memaknai apapun yang saya baca.

Mungkin itulah yang disebut misteri dan ketidakpastian dalam hidup. Dimana setiap orang bisa berubah cara pandangnya setiap detik.

Jadi, sebenarnya saya orang yang berpandangan bahwa tidak menikah itu bukan sesuatu yang aneh. Maksudku, menikah itu soal pilihan --- menikah atau tidak. Kalau menikah, dengan siapa. Semua terserah pribadi setiap orang.

Saya sendiri tidak memasukkan pernikahan sebagai sesuatu hal yang harus saya alami dalam hidup ini. Akan tetapi, saya juga tidak mengharuskan diri saya untuk tidak menikah.

Jadi, untuk urusan yang satu ini, saya benar-benar tidak terlalu memikirkannya.

Lalu, dalam satu fase, saya mengalami suatu kejadian yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan saya tidak akan mendetailkannya karena ini menyangkut urusan internal keluarga.

Kejadian itu yang akhirnya menjadi pemicu pertama untuk memikirkan tawaran dari ibu saya, yang menginginkan saya menikah.

Tentu saja seperti biasa, saya tentu saja bisa menolak begitu saja. Namun seiring waktu, saya mengamini tawaran tersebut dengan catatan bahwa ini adalah pilihan yang telah saya pertimbangkan dengan matang, sekaligus juga adalah pilihan bahwa saya hanya ingin dengan gadis yang saya kehendaki.

Semua berlangsung aman dan lancar-jaya. Saya akhirnya merasakan sensasi duduk di pelaminan dan menjalani tradisi pernikahan sesuai adat, yang ternyata lumayan melelahkan sekaligus membahagiakan.

Satu hal yang saya sadari, begitu saya sudah resmi menikah, maka saya sudah masuk ke alam baru sebagaimana yang sudah saya pikirkan sebelumnya.

Pertama dan utama, sebagai manusia yang merada memiliki prinsip, menikah sama dengan memiliki tanggung jawab baru.

Artinya, saya sudah menyiapkan diri untuk terbebani dengan hal-hal baru, terutama demi mengeratkan tali pernikahan yang sudah mengikat saya.

Saya sangat sadar, bahwa setelah menikah, kepala saya tidak lagi memiliki satu warna, melainkan telah menjadi dua warna. Maksudnya, apapun yang saya pikirkan dan akan lakukan adalah karena keputusan saya dan istri saya, bukan hanya salah satunya.

Tentu tidak akan berlangsung semudah mengatakannya. Oleh karena itu, bagi saya, menikah dengan orang yang tepat atau cocok, paling tidak bisa diajak berkompromi dan saling mengerti adalah salah satu hal yang sangat penting.

Memang tidak ada garansi. Namun setidak-tidaknya hal-hal yang prinsipil atau yang lebih bersifat sebagai visi sebaiknya dibicarakan saat sebelum ketimbang setelah menikah.

Bukan melebih-lebihkan atau mendramatisir sesuatu yang sebenarnya sederhana. Tapi bagi saya, secara filosofis, sebelum menikah dengan seseorang, seseorang itu harus tahu dan mengerti cara pandang hidup calon pasangannya.

Dibalik itu, jika lebih banyak persamaan, maka besar kemungkinannya untuk saling cocok. Apabila sebaliknya, kurasa tidak perlu dipaksakan untuk sama hanya karena alasan perasaan.

Berbeda dengan forum diskusi akademik, dalam pernikahan, perbedaan cara pandang yang sangat mencolok sangat berpotensi menjadi akar persolaan yang berulang-ulang.

Sejauh ini, saya belum dapat dikatakan sebagai berpengalaman. Akan tetapi, setelah menikah, kehidupan saya sedikit banyak berubah secara teknis.

Dan akhirnya saya mulai memahami, bahwa menikah mengantarkan saya secara perlahan agar merasakan hal-hal kecil menjadi kebahagiaan yang besar.

Tapi sekali lagi, menikah dengan orang yang tepat adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Sebab cinta bisa diasuh bersama tanpa harus membuat jari diri memudar dan hilang.***

DISKUSI ANAK MUDAМесто, где живут истории. Откройте их для себя