MERDEKA BUKAN SOAL UKURAN BENDERA

356 13 2
                                    

Agustus,selain adalah nama bulan yang menandai kelahiran saya. Bulan agustus juga menjadi bagian dari pesta kemerdekaan negeri Indonesia.

Euforia itu bisa dirasakan dengan segala pernak-pernik yang bernuansa nasionalis sedang menghias negeri. Dari sabang sampai merauke,di perkotaan hingga pedesaan kecil,semua begitu bersemangat memperingati momentum bersejarah negeri ini. Mulai dari yang mainstream hingga yang unik.

Inilah satu bukti,bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki jiwa nasionalis dalam dirinya. Sebagaimana mereka begitu antusias menjelang perhelatan 17-an. Mungkin ini salah satu bentuk sukacita yang berapi-api untuk menunjukkan kecintaan mereka sebagai bagian dari bangsa yang merdeka.

Terlepas dari segala dinamika dan fenomena perjalanan sejarah yang mestinya di kuak dan lebih transparan. Pada intinya,kemerdekaan telah menjadi milik bangsa sejak pendeklarasian 17-agustus-1945.

Terlepas dari perdebatan,bahwa apakah Indonesia betul-betul merdeka seratus persen atau sekedar pemberian secara cuma-cuma. Tentu itu butuh pengkajian lebih dalam untuk mengungkap kebenarannya.

Namun kemudian,melepaskan segenap keraguan itu dalam benak,patutlah anak bangsa berbangga secara wajar bahwa Indonesia memang di akui sebagai bangsa yang merdeka oleh mata dunia.

Yang jadi persoalan atau pertanyaan selanjutnya. Apakah sejak pengakuan itu,kita benar-benar merdeka ?. Di susul oleh pertanyaan selanjutnya,kalau memang kita benar-benar merdeka secara mutlak sebagai warga negara,apa yang telah kita sumbangsikan dalam mengisi kemerdekaan ?.

Mari kita coba sedikit mengalah untuk tidak membahas era Bung Karno. Tapi kemudian,kita langsung saja masuk pada era orde baru.

Sebagaimana kita ketauhi secara bersama dan seksama. Bahwa di rezim orde baru,kemerdekaan warga negara kembali di pertanyakan,ketika gaya kepemimpinan otoriter di peragakan oleh presiden ke dua negeri ini.

Dimana ketika itu,nuansa berbangsa dan bernegara begitu mencekam oleh pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang di lakukan oleh kaum feodal.

Tapi kita masih patut bersyukur,bahwa kecemasan berwarga negara yang merasa telah kehilangan esensi kemerdekaan di bawah naungan bangsa masih mampu di selamatkan oleh generasi militan di eranya. Tidak bisa di sebut satu per satu namanya,tapi tentu mereka akan melekat dalam sejarah. Kala itu,sosok muda-mudi yang di pelopori oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual telah membuktikan power dan eksistensinya untuk memutus kekelaman yang panjang. Mereka berhasil menggulingkan rezim orde baru dengan mengusung reformasi sebagai bentuk yang kental dengan teriakan revolusi.

Nahas,reformasi di tengah perjalanan seolah kehilangan arah. Revolusi yang di gembar-gemborkan meredup sebelum bersinar menerangi bangsa dengan harapan yang menjanjikan.

Boleh di bilang pada fase ini,nahkoda bangsa mengalami kegamangan dan kegagapan mengahadapi gejolak yang berlangsung. Maka menyusullah era demokrasi,yang sampai hari ini telah bertukar ganti tokoh sebagai orang nomor satu di negeri ini.

Seiring perkembangannya, sampai hari ini. Begitu banyak dari berbagai pihak masih mempertanyakan soal yang sama : inikah yang di sebut merdeka ?.

Tentu pertanyaan itu tidak akan lepas dari segala kerancuan dan rasa pesimis yang kemudian hadir ketika melihat bahwa kaum feodal sampai detik sekarang masih saja menjadikan kekuasaan sebagai alat kesemena-menaan. Kutipan : "runcing kebawah tumpul keatas" masih menjadi pemandangan nyata di hadapan anak bangsa.

Maka wajar saja,ketika kata merdeka hanyalah sebuah angan-angan yang menggantung di ujung tiang bendera yang sejatinya tidak pernah di raih oleh seluruh masyarakat Indonesia secara penuh.

Yang jauh lebih mengerikan,sebenarnya adalah bangsa ini seolah hidup dalam ilusi. Beberapa pihak merasa baik-baik saja atau mungkin terpaksa menjadi acuh,lantaran kebosanan dan rasa pesismis terendah telah menjangkiti struktur sosial,dan,mosi ketidakpercayaan akan harapan terang bisa datang melenyapkan kegulitaan negeri telah hilang dalam nurani generasi pelanjut bangsa ini.

Efek politik kaum feodal telah menghempas dan menggunting urat nadi bangsa. Hingga kita hanya mampu menyaksikan ibu pertiwi terkapar menunggu ajalnya datang.

Kesadaran bahwa kita mendekam dalam rahim pertiwi yang sekarat ini seakan sirna. Kita seolah-olah larut dan berusaha membelakangi layar,padahal panggung negeri ini sedang butuh perhatian.

Panji-panji yang di harapkan lahir sebagai renkarnasi militan oleh para pejuang ternyata lahir secara prematur.

Kata merdeka telah kehilangan esensinya,nuansa kemerdekaan itu tidak lagi lebih dari upacara di setiap seninnya,atau perhelatan hari-hari besar untuk memperingati sejarah lampau.

Kemerdekaan tinggallah ilusi atau fiksi.

Dalam prosesnya,sebetulnya jika anak bangsa ingin kembali merefleksikan bangsa ini lebih dalam. Akan kita temukan sebuah negeri bernama Indonesia yang kaya raya masih berdiri di depan pintu gerbang kemerdekaan. Kita belum masuk dalam kemerdekaan sesungguhnya.

Tapi asa tetap harus di kibarkan,sebagai generasi penerus bangsa,tentu kita punya kemampuan untuk mendobrak gerbang itu.

Tapi itu hanya akan terjadi,ketika kita bisa lepas dari rasa pesimistis yang akut.

Bagaimana boleh kita mengerti tentang kemerdekaan,jika kemerdekaan yang ada dalam kepala anak bangsa hanyalah gaya hidup hedonisme.

Bahkan,arwah para pejuang mungkin akan mengutuk generasi pelanjutnya. Sekarang,sudah untung bagus kalau sepuluh persen dari seratus persen pemuda bangsa paham sejarah Indonesia.

***

Mungkin kali ini saya sangat terdengar sok tau,sok paling idealis dan nasionalis. Atau mungkin ada yang menganggap saya sangat sinis dan merasa paling benar.

Terserah. Sesungguhnya,saya hanya berniat mengajak pembaca untuk kembali merenungkan arti kemerdekaan.

Saya sekedar ingin terang-terangan mengatakan,bahwa merdeka bukan sebatas simbol atau perayaan hari besar. Lebih daripada itu,ibu pertiwi memanggil kita untuk terus berjuang.

Kita tidak bodoh selagi masih sadar bahwa kita sedang berada dalam narasi kebohongan para kaum penindas. Mereka itu,yang sedang berupaya membodoh-bodohi kita.

Saya yakin,bahwa kaum intelektual yang cerdas belum punah. Kita tentu masih punya kesempatan untuk menjahit urat nadi pertiwi yang putus.

Menurut saya. Kajian sejarah bangsa adalah penting,lebih penting daripada sekedar lomba panjat pinang 17-an. Merumuskan masa depan bangsa dengan aktualisasi nyata (kecil ataupun besar) adalah salah satu bentuk perjuangan. Bukan sekedar menghormati bendera di lapangan upacara.

Mari berpikir radikal. Kecerdasan generasi akan membawa harapan baru. Kita menolak lupa dan menolak dungu.

Salam merdeka !.

DISKUSI ANAK MUDAWhere stories live. Discover now