Cerai

339 16 0
                                    

Seatap Dengan Mantan

Suara ketukan palu itu terdengar nyaring. Sedikit menggetarkan dada dan seperti ada yang meremas hati ini. Akan tetapi, entah mengapa air mataku enggan luruh. Mungkin bulir bening itu telah surut. Karena sudah acapkali tertumpah dua tahun terakhir.

Berbeda dengan Mas Ferdi. Lelaki itu tampak beberapa kali mengelap sudut matanya yang basah dengan punggung tangan. Lalu ketika aku menoleh, mata kami bertemu pandang. Dia menatap lekat dan memasang rupa yang mengiba. Enggan terhipnotis wajah memelasnya, aku membuang muka.

Cukup sudah! Aku lelah dan muak.

Hari ini hakim telah memutuskan. Sudah tidak ada lagi hubungan antara aku dan Mas Ferdi. Baik secara agama ataupun negara.

Semua sudah diputuskan. Hak asuh anak dan harta gono-gini. Kami sama-sama menyetujuinya.

Walau agak terasa lemas, tetapi aku bangkit dari kursi persidangan dengan tegar. Bahkan masih mampu mengulas senyum pada kerabat yang menyaksikan putusan. Karena memang inilah kemauanku. Bercerai dari Mas Ferdi. Lelaki yang telah menjadi imam selama delapan tahun terakhir.

Tak mau membuang waktu percuma, bergegas kutinggalkan pengadilan agama Yasmin Bogor ini.

"Ay!"

Refleks aku menoleh. Mas Ferdi dengan tergesa menghampiri.

"Kita pulang bareng," ajaknya datar.

Sebenarnya ini perintah bukan ajakan. Sorot mata seteduh telaga saat berada dalam ruang persidangan, kini berubah setajam elang yang memaksaku untuk mematuhi titahnya.

"Tidak usah! Aku sudah pesan taksi."  Suaraku pun tak kalah datar dengannya.

"Ay!"

"Mas, ingat kita bukan siapa-siapa lagi. Aku sudah bukan lagi istrimu, tetapi mantanmu," potongku membuatnya terbungkam.

Mas Ferdi menunduk. Mungkin tengah membenarkan perkataanku.

Ah ... andai kelakuanmu terpuji, Mas. Mungkin aku takkan pernah mengambil keputusan seberat ini.

Tak dapat dipungkiri, Mas Ferdilah lelaki pertama yang menawarkan indahnya cinta padaku. Tanpa mau berdusta pula, hingga detik kini masih ada rasa kasih untuknya.

Namun, semua rasa kasih dan cinta itu harus secepatnya kukubur dalam-dalam. Bahkan sebisa mungkin pintu hati ini akan kututup rapat baginya. Karena rasa perih yang ia torehkan ini sunguh menyiksa.

Benar-benar terasa nelangsa, saat mengetahui orang yang kita cinta setulus hati, tega mengkhianati.

Lebih dari sekali dosa itu dilakukan,  dan aku laksana keledai bodoh yang terjatuh pada satu lubang. Selalu memaafkan kealpaannya. Namun, tidak untuk kesalahan berzina!

Jadi, walaupun berat tetap kuputuskan untuk berpisah dengan Mas Ferdi.

*

Melihat taksi pesanan datang, bergegas kutinggalkan Mas Ferdi yang masih mematung. Lalu segera menghempaskan badan ke jok belakang sopir.

Dalam perjalanan pulang, berkelebat adegan pertengkaran demi pertengkaran antara aku dengan Mas Ferdi terulang di kepala.

Pertengkaran yang terjadi akibat masuknya orang ketiga dalam rumah tangga kami.

Lalu tiba-tiba saja, air mata yang enggan turun saat di ruang sidang tadi, kini tumpah membasahi pipi.

Ah ... ternyata stok air mataku sangat melimpah. Ini terbukti dari tak berhentinya butiran bening itu, walau sudah berkali-kali kuhapus. Bahkan aku semakin tergugu dalam tangis, bila mengingat siapa penyebab  retaknya rumah tanggaku.

Catatan Sang PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang