Malam Terakhir

477 12 10
                                    

"Mass!" Aku berteriak sambil mencoba menggapai mobil Elf yang membawa suamiku pergi.

Aku berlari hingga ke jalan raya. Tanpa alas kaki, tidak perduli panas aspal menyengat telapak kaki.

"Mas Anaaamm!" Suaraku tercekat mobil travel makin jauh,  tidak sanggup lagi mengejarnya. Aku jatuh terduduk di jalan. Menangis sesenggukan.

"Pulang! Bikin malu saja!" bentak Bapak diiringi tarikan kasar di lenganku. Bapak menyeretku masuk ke rumah.
Arif, putraku menangis di gendongan Ibu. Ibu berusaha menenangkannya, bulir bening mengalir dari kedua mata Ibu. Sempurna sakitku.

"Tidak ada gunanya menangisi laki-laki pecundang seperti Anam." Serak suara Bapak, mungkin beliau juga sama sakitnya denganku.
"Paaak!" Aku berhambur ke pelukan Bapak.

"Sabar, Nak, sabarr!" Bapak mengelus kepalaku, kedua matanya basah.
Aku terisak di dada Bapak  yang kian kurus, di dada ini dulu, sering kuhabiskan tangis dan tawaku.

Setelah sekian lama bersandar di dada bidang Mas Anam, sekarang kembali dada kurus ini, menjadi tempat tangisku paling dalam.

Di tinggal oleh suami yang begitu kucintai, entah kenapa, seribu tanya di kepala, salahku apa dan bagaimana.

Kami baik-baik saja, bahkan semalam masih menghabiskan malam yang  panas di ranjang kami berdua.

Lantas pagi hari, ketika matahari semringah mencandai pagi, Mas Anam berkemas-kemas hendak kembali ke Malang.

Rencana mendadak pulang membuatku terkejut, menit berikutnya aku juga sibuk mengemasi barangku.

Mas Anam menghampiriku, menahan gerak tanganku.
"Kamu tidak perlu ikut, aku sudah menyerahkanmu pada Bapakmu!" ujarnya tanpa beban. Aku bingung, tidak mengerti.

"Mas..."

"Sudahlah, aku lelah denganmu!"

Apa katanya barusan, lelah? kepalaku mendadak kliyengan.

"Aku pergi,..  jaga Arif untukku!" pesannya sambil menggendong tas ranselnya. Tanpa melihatku, lalu keluar kamar. Aku masih mematung, menerka setan apa yang sedang merasuki suamiku.

"Mass, tunggu!" Aku mengejarnya. Di ruang tamu sudah ada Bapak sama Ibu, wajah keduanya menegang.

"Aku ikut!" pintaku, mementahkan perintahnya untuk tetap tinggal di sini.

Mas Anam memegang kepalaku, lalu mengucapkan talak satu padaku.
Runtuh duniaku, aku menggeleng kuat, menolak keputusannya.

Aku tak bergeming, hanya air mata yang luruh tanpa bisa dicegah, Mas Anam menceraikanku, padahal rambutku masih basah, sisa bercinta kami semalam.

******

Bulan menyembul di balik awan, lukisan malam begitu indah, saat seperti ini, semakin dalam pula kerinduanku pada Mas Anam.

Kami sering menghabiskan malam bersama, di teras depan, menikmati teh dan sepiring singkong, sambil melihat debur ombak menampar bibir pantai. Rrumahku memang berada di pesisir pantai. Tepatnya  Kwanyar Madura, pasang surut air laut menjadi pemandangan yang selalu kurindukan.

Mas Anam juga begitu menyukai laut, banyak kapal-kapal nelayan bersandar usai berlayar mencari ikan. Sebagian besar  penduduk memang berprofesi sebagai nelayan.

"Mas," lirih suaraku nyaris tak terdengar. Aku tidak mau Arif bangun. Seharian tadi dia rewel. Ibu kewalahan menenangkan, sedang aku,.. ibunya, masih meratapi kepergian ayahnya.

Aroma tubuh Mas Anam masih tercium di ranjang ini, wangi rambutnya tersisa di bantal, aku menghirupnya mencoba menuntaskan rindu menyakitkan.

Foto pernikahan kami masih tergantung di dinding. Foto yang diambil setelah ijab qobul, aku mengampit lengan kanan Mas Anam dengan kepala sedikit bersandar di bahunya. Sementara tangan kiri Mas Anam memegang tanganku yang melingkar di lengannya, senyum kami terpancar, seakan perpisahan ini tidak akan pernah terjadi.

Catatan Sang PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang