Setetes Air Mata Ibu

155 5 0
                                    

Aku terjaga. Ketika udara hangat perlahan menggerayangi tubuhku dengan manja. Seperti biasa. Sinar matahari menerobos dari jendela. Tanpa permisi. Tanpa basa-basi. Seolah sudah tradisi untuk mengingatkan aku bahwa hari telah pagi.

Aku terpaku. Saat aroma teh tubruk diam-diam menghinggapi indera penciumanku. Harum khas menyeruak kalbu. Wangi bunga melati dan pucuk daun teh kering yang terpadu.

Aku bangkit dari ranjang. Tatkala hembusan singkong rebus bergentayangan saling merangsang. Menyerang. Mengekang. Menarik hidungku yang panjang. Hingga tanpa segan tanganku melayang. Menggapainya dan langsung melahapnya hingga kenyang. Itulah sarapanku yang dihidangkan ibuku tersayang.

"Tirta, kau sudah bangun, Nak!" teriak Ibu dari ruang depan. Suaranya balapan. Bersahutan dengan mesin jahit yang berdecitan.

"Iya, Bu!" balasku.

"Sudah dimakan sarapannya?"

Suara Ibu masih beriringan dengan laju mesin jahit. Ya, ibuku seorang penjahit rumahan. Dia bekerja hampir sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.

"Udah, Bu!" jawabku.

"Jangan lupa minum obatnya, Nak!" seru Ibu mengingatkan aku.

"Siap, Bu!"

Aku langsung meraba tiga butir pil yang berada di samping segelas air. Letaknya berderetan dengan piring wadah singkong rebus dan secangkir teh manis. Biasanya ibu meletakan benda-benda itu di sana. Di atas meja. Di sudut kamar.

Sudah seminggu aku jatuh sakit. Dokter bilang aku terjangkit Virus Corona. Dan sejak saat itu aku dianjurkan untuk isolasi mandiri. Hanya ibu yang senantiasa merawat dan menemaniku. Karena hanya ibulah satu-satunya keluargaku. Aku tidak memiliki ayah. Kata ibu, ayah pergi meninggalkan kami sejak aku masih berada dalam kandungan.

Usai minum obat aku bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri. Setelah itu aku kembali. Menghampiri ibu yang masih sibuk dengan jahitan yang belum jadi.

"Tirta, ganti bajumu, Nak!" kata ibu lembut, "hari ini kamu ada jadwal periksa ke dokter untuk tes PCR," lanjutnya.

"Baik, Bu!" aku mengangguk kemudian membalikkan tubuhku dan berjalan menuju ke arah kamarku.

Beberapa saat berlalu. Aku kembali mendekati ibu dengan pakaian yang baru. Mesin jahit ibu masih berderu. Sepertinya ibu belum beranjak dari tempatnya berjibaku.

"Ibu sudah pesankan kamu ojek, Nak. Pak Bayu yang akan mengantarkan kamu ke dokter" ujar ibu..

Aku cuma menganggukkan kepala.

"Maaf, kali ini ibu tidak bisa ikut mengantar kamu."

Tangan ibu menyentuh bahuku. Tangan halus dan lembut tetapi terasa sangat dingin membeku. Seperti es batu. Aku terkejut. Namun rasa terkejut itu buyar ketika suara klakson motor Pak Bayu menggebu di pelataran rumahku.

Tanpa ragu, aku berpamitan kepada ibu sebelum berjingkat menghampiri Pak Bayu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Catatan Sang PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang