Sekali lagi Aoi menghela napas, kali ini terdengar lepas tetapi juga bersirat gusar. Dia mengangkat pandangan kepada Akira. Hal yang sama selalu ia dapatkan sebagai sapaan; kerjapan lensa. Bersamaan, berakhir tangan Aoi turun ke pangkuannya.

"Kalian memang mirip. Aku mengerti kau ingin membantu, tetapi menjadi orang lain sama sekali bukanlah merupakan pilihan yang bagus," kata Aoi. "Kau tidak akan bahagia."

Paham akan kata si profesor muda, akhirnya Akira mengangguk.

"Tapi ... sungguh. Aku senang kau mau membantu." Aoi melanjutkan. Segera tangannya menghinggapi puncak kepala Akira, mengusapnya dengan lembut. "Ternyata aku menciptakan anak yang baik, huh?"

Menanggapinya, Akira hanya mengedip singkat sebelum Aoi menurunkan tangan.

"Aku tidak membutuhkan boneka tak berjiwa seperti ini."

Senyum Aoi perlahan memudar mengingat ucapan Kirika waktu itu. Tidak ingin menumbangkan kepalanya, kali ini Aoi menopang dagu.

Eleonor memang pernah bercerita, tidak seorang pun orang yang bersangkutan pada sebuah proyek oleh satu tim membocorkan apa saja yang terkait dengan percobaan atau perancangan pertama. Perusahaan ini agaknya memang amat hati-hati dalam melangkah. Satu titik terang telah Aoi dapatkan setelah Kirika—secara tidak langsung—memerintahkan mereka harus menambahkan darah di dalam tubuh Akira.

Tentunya hal tersebut digunakan untuk menutupi bahwa Akira adalah android. Meski demikian, pastilah ada poin lain yang Kirika minta.

Tapi ... apa?

Si profesor muda mengetuk-ngetuk pelipis, seolah kegiatannya tersebut dapat membantunya terus berpikir. Terbayang kembali kilasan dua hari silam di kepala Aoi. Pun, ditemani renungan.

Pandangan Aoi terjatuh kepada tablet yang sudah menyediakan sejumlah informasi mengenai peredaran darah. Dalam hati merutuklah ia, berpikir bahwa yang ia dapatkan dari internet masih belum cukup.

"Setelah darah berhasil mengalir di tubuhmu, pasti kau akan sempurna," ujar Aoi kepada Akira. Kontan pula ia menoleh kepada si android. "Tersenyumlah sedikit! Kau sedang berada mode otomatis, 'kan?"

Yang dimintai senyuman berkedip-kedip sebelum berakhir menarik ujung bibir. Nyaris saja Aoi meledakkan tawa karena Akira memiliki senyuman paling kaku yang pernah ia lihat. Namun setelahnya ia sendiri tertegun seusai memerintahkan Akira untuk berhenti tersenyum.

"Menurutmu ... apa yang tidak kau miliki selain darah?" tanya Aoi kemudian.

Akira tampak menimbang-nimbang.

"Sejarah kehidupan. Masa lalu yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, tepatnya ... nostalgia?"

"Umurmu masih kecil. Wajar jika kau belum memilikinya," jawab Aoi. Balasannya diteruskan dengan tawa kecil yang ia buat sendiri. Sekali lagi ia meminta sesuatu pada si android, "Bagaimana kalau aku menyuruhmu menangis?"

"Sayang sekali saya tidak memiliki air mata," jawab Akira segera. "Tapi saya bisa menirukan orang meratap."

Patahan kata terakhir sukses membuat Aoi mengerjap.

Meniru ....

Senyum seketika terpatri di wajah bulat Aoi. Mulailah ia mencatat di dalam tabletnya.

"Anda tidak tertarik dengan ratapannya?"

Kekehan lantas meledak di antara kepala yang tertunduk dalam, berakhirlah menjadi tawa yang cukup keras kala Aoi menaikkan pandangannya kembali. Dengkusan lega bercampur lelah akibat tertawa dijadikan penutup. Kesekian kalinya ia menoleh pada Akira, tersenyum puas.

"Tidak perlu," kata Aoi. "Namun berkat dirimu, aku sudah menemukan kekuranganmu."

Lensa Akira agak sedikit membulat sembari ia mengangguk-angguk paham. "Saya akan dibongkar?"

"Kuharap itu tidak akan berlangsung lama. Barangkali paling lambat kau akan kembali diaktifkan di awal musim semi. Dibandingkan sekarang, musim semi lebih berwarna. Kau pasti akan menikmatinya," terang Aoi. "Kau ... tidak keberatan, 'kan?"

Segera Aoi terima anggukan setuju dari Akira. "Jika memang diperlukan, Profesor. Saya siap."

"Ucapanmu terdengar seperti manusia yang rela dioperasi."

Kembali mereka berbincang singkat, hingga datanglah Adam membawakan makan siang. Dia juga sempat menawarkan Akira, meskipun berakhir merutuk dalam hati ketika mengingat yang ditawari adalah android.

Namun justru Akira menjawab dengan cepat, "Saya hanya memakan energi sinar matahari dan listrik. Lidah yang saya punya juga mampu mengecap rasa, tetapi sayangnya sama sekali tidak membuat baterai saya kenyang."

Tentu saja jawabannya membuat Adam mengernyit sembari terperangah sebelum tertawa takjub.

"Akira memiliki humor yang bagus, ya, Kak Aoi." Begitu ujarnya sambil duduk menghadap Aoi. "Katakan. Sudah mendapatkan ide untuk upgrade Akira?"

"Baru saja aku ingin memanggil kalian," balas Aoi. "Kita membutuhkan banyak bantuan dan riset yang lebih kali ini."

Sepasang manik karamel Adam langsung berbinar-binar penuh semangat.

"Apa saja yang kita akan kita lakukan? Buku? Seminar? Bantuan tambahan? Atau—"

"Semuanya, Adam," potong Aoi. Sumringah pula merekah di wajah bulatnya. "Semuanya."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Lama tak berjumpa. Kapan kita terakhir kali mengobrol?

Saya selalu tertarik dengan kecerdasan buatan dan kloning. Saya berusaha mempelajari semuanya, berharap tidak ada kekurangan selama riset. Tapi, jika para pembaca mendapati kekurangan yang ada, mohon koreksi. Sebab saya juga masih belajar.

Omong-omong, mohon maaf atas keterlambatan dalam pembaruan. Punggung saya mengalami sedikit malfungsi, membutuhkan banyak terapi. Terjadi karena kecerobohan yang berakibat fatal sehingga kala melakukan latihan peregangan (ya, hal ini sangat sulit bagi saya yang tidak memiliki badan lentur) ... saya tidak bisa berlama-lama duduk di depan komputer. Tapi jangan khawatir sekarang saya baik-baik saja.

Terima kasih sudah mau menunggu karya ini. Terima kasih atas dukungan yang senantiasa kalian berikan!

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now