Chapter 1.6

205 61 97
                                    

Awan gelap memenuhi langit musim semi. Namun awan-awan itu segera turun menjadi air, mengguyur Shinjuku tanpa ampun, seolah mereka sanggup membalut duka. Barangkali bunga sakura akan mekar terlambat dibuatnya.

Tentu saja hujan tidak akan menghalangi para murid untuk masuk sekolah. Hampir dua minggu setelah hari pertama, Kirika bahkan tak kunjung menginjakkan kaki ke sekolah. Semua orang, termasuk yang di lingkungan sekolah belum berhenti membicarakan gadis itu, tepat mengenai apa yang terjadi di gelanggang es pada saat kompetisi figure skating tingkat nasional. Ditambah lagi kedua orang tuanya yang meninggal di waktu yang sama.

Sebagian di antara mereka ikut berkabung. Teman-teman Kirika menyadari bahwa si gadis Alford tidak ingin dikunjungi, maka mereka memutuskan untuk mengirimkan surel. Meski belum mendapatkan balasan sama sekali, mereka berharap surel-surel yang mereka kirimkan mampu mengobati hati yang sepi.

Jejak tak kasat mata tercipta dari dua orang siswi yang tengah menyusuri koridor menuju kelas. Meski hujan turun, masih banyak yang menempati koridor. Di antara mereka tergesa-gesa masuk ke kelas, selebihnya masih sibuk dengan urusan masing-masing.

"Sepertinya wajar jika dia masih belum mau masuk sekolah," komentar salah satu siswi. "Aku juga akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padaku. Aku pasti akan merencanakan pembalasan dendam kepada siapa pun yang sudah melakukan semuanya."

"Aku berharap dia masuk hari ini. Kompetisi figure skating juga terasa sepi tanpanya. Musim lalu dia memang harus benar-benar beristirahat," sahut temannya. "Pasti dia sudah bisa berdiri tegak dan mulai meluncur dengan sepatu roda sekolah nanti!"

"Yah ... semua orang juga berharap begitu."

Cengkerama kemudian mereka kicaukan meski sudah berbelok menuju kelas. Dari jendela mereka mendapati sekelas yang ricuh, berkumpul di bangku tengah. Sebelum masuk, keduanya menyempatkan diri saling bertukar pandang penuh tanya.

Menginjakkan kaki masuk ke kelas, mereka berdua sudah disambut dengan bau busuk yang menyeruak menusuk hidung. Yang satu nyaris muntah, memilih untuk mundur menjauhi kelas. Sementara yang tersisa memilih untuk maju dan bertanya kepada salah satu di antara mereka yang berkerumun.

"Ada apa?"

"Meja Kirika ... sepertinya ada yang menindasnya."

Yang menerima jawaban mengernyit. Siapa yang berani menindas Kirika? Tak lama, salah satu siswi tadi melangkah maju mendekati meja Kirika. Manik kecilnya membaca banyak kata-kata kasar yang tertulis di meja itu, lengkap dengan kotak jus yang menumpahkan darah babi. Darah babi itu mulai menetes-netes ke lantai. Belum lagi bangkai tikus yang tergeletak di sana, lepek karena darah.

Inilah asal muasal bau busuk itu.

"Siapa pun yang berada di pihak Alford, dia akan mati." Si murid membaca tulisan paling besar. "Semuanya, cepat bersihkan ini sebelum Kirika datang!"

"Tetapi dia belum tentu—"

"Datang hari ini?"

Tiap-tiap jantung seolah terlonjak. Semua orang mengenal betul suaranya. Pasang demi pasang mata segera melemparkan pandangan kepada sosok pemilik suara. Kirika di sana, berdiri dengan kedua kaki yang masih utuh.

"Selamat pagi," sapa Kirika.

Si manik delima menyapu satu per satu teman-teman sekelasnya. Di kala ia mengambil langkah menuju mejanya, tetapi mereka segera berkerumun menutupi meja tersebut. Lantas Kirika mengarahkan pandangan kepada murid bermanik kecil. Dia memiringkan kepala, lantas melontarkan pertanyaan, "Ada apa, Aikawa?"

Yang disebut namanya hanya diam, memberanikan diri untuk memandang lurus manik Kirika. Dia menelan ludah. Meski mencoba mengumpulkan nyali untuk menautkan alis, sama sekali ia tak temukan keberanian untuk menjawab.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang