Menantang Adinata

103 10 3
                                    

Memenggal tujuh ratus enam puluh kilometer, menebas seratus sembilan puluh dua hari, berselimut kepulan asap rokok dan kopi, dan dua sejoli yang ekor matanya masih berpaku pada gawai sendiri-sendiri.

Sebetulnya, saya cuma menggulir page up dan down demi membaca artikel di salah satu laman web berita. Seharusnya, kami berdua bersua untuk menuntaskan laporan Kerja Praktik masing-masing. Yang dengan keji memisahkan kami tiga bulan penuh tanpa temu, sama sekali. Laporan saya sudah selesai, tapi terlalu gengsi untuk tidak melakukan apapun ketika Ata masih mengerutkan dahi, menghitung dengan jari, pun memainkan keyboardnya lagi.

Setelah saya mendengar retakan jari dan hembusan napas panjang nan lega milik Ata, saya dapat menyimpulkan bahwa mungkin ini saatnya kami saling menanyakan kabar, menjajah pandang, dan melanjutkan obrolan apapun, meski sudah pukul dua dini hari. Tapi nyatanya, Ata masih diam saja.

Satu semester ke belakang, pertemuan kami tidak pernah lebih dari dua minggu sekali, atau bahkan bisa satu semester dua kali. Kali ini saja, kebetulan sedang ada pekerjaan sebagai alasan. Sampai sejawat kami pernah dengan lantang bilang "Kalian kenapa masih bertahan sih? Ketemu aja jarang. Malah sibuk sama urusan masing-masing"

Dulu, Ata dan saya bersepakat bahwa hubungan ini ada untuk saling membangun tanpa merecoki. Tapi ya begitu, pada akhirnya satu-satunya cara agar tidak merecoki kesibukan satu sama lain yaitu dengan sibuk dengan diri sendiri. Satu saat saling mengeluh, di saat-saat tertentu saling membangun. Sekali dua kali saja. Buntut pertemuannya? memang besar sekali. tapi ya begitu, cuma sekali dua kali.

"Gimana kalau kita udahan aja, Ta?" Satu kalimat pembuka saya sepertinya sama sekali tak mengagetkan Ata. Terkesan menantang, tapi sebenarnya saya yang mamang.

"Ada apa lagi?" Balasnya santai sembari menutup gawai dengan gegabah.

"Kita udah jarang banget ketemu, nggak mempengaruhi satu sama lain. Nggak menggantungkan diri satu sama lain"

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan"

"Ada benernya, sih"

"Nah kan," balas saya mencoba sesantai mungkin. Saya berharap ada bantahan, demi semesta saya nggak siap kalau Ata mengiyakannya sekarang. Karena saya tidak menyiapkan sanggahan jika Ata cuma menyetujui pernyataan saya barusan.

Kita tidak sedang berada dalam topik mendebatkan perasaan satu sama lain. Karena saya sih yakin, tidak ada yang berubah maupun berkurang. Namun perihal status, saya masih sangsi. Kenapa juga harus dilanjutkan jika ya begini-begini saja kita.

"Tapi gue egois, Ra"

"Buat apa?"

"Memenuhi ego gue untuk bisa milikin elo"

"Saling"

"Iya"

"Tapi, Ta. mau kita ada status pun, kalau mau curang kan bisa aja dilakukan," kenapa jadi saya yang keukeuh tidak mempertahankan cuma karena penasaran dengan bantahan dia selanjutnya, sih?

"Ya memang"

"..." Saya terdiam, masih setengah berdebar takut seandainya Ata secara cuma-cuma mengiyakan ajakan putus saya.

"Lo pernah bilang kan, katanya waktu dalam hubungan itu investasi gede," lanjut Adinata.

"Iya"

"Emang lo ada waktu buat cari yang lain dan merelakan waktu yang udah kita investasikan satu sama lain?" Kok jadi Ata yang balik nantang saya.

"Iya itu sih, nggak ada waktu juga sebenernya"

"Tuhkan, udah jalanin aja"

Pada akhirnya, mempermasalahkan 'kata orang' tidak akan pernah meyelesaikan masalah. Kami punya cara sendiri untuk saling membangun tanpa merugikan. Kami punya cara sendiri untuk saling mempengaruhi tanpa merecoki. Cara kami sendiri, yang lain tidak perlu mengerti.

Jadi, kalian bisa simpulkan tiga alasan di atas kenapa kami masih bertahan?

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now