Saya kepada Adinata

95 14 4
                                    

Sebagaimana mestinya seorang mahasiswi biasa dengan segala dahaga perihal apa yang terjadi di dunia beserta makhluk yang memuatnya, saya sudi berlama-lama ditemani aroma kopi hitam juga sekelebat asap rokok demi obrolan tak terarah. Sesekali, bumbu indomi goreng mengudara di awang-awang warung yang hanya berjarak sepuluh rumah dari indekos saya.

Adalah Adinata Bumantara yang sanggup mendengarkan, juga bercerita untuk menambah pengetahuan. Episode kemarin, komersialisasi pendidikan menjadi topik yang tak bisa tamat hanya sampai dini hari. Dari Karl Marx hingga Adam Smith, Buya Hamka hingga Paulo Coelho dikutipnya demi menguatkan argumennya sendiri. Menjadi mahasiswa yang masih meributkan Desain Arsitektur level dua dengan delapan SKS tak membuatnya menutup kuping pada isu dunia. Saya bilang, itu yang menjadi daya tarik Adinata.

Episode kali ini, entah dimulai darimana, tiba-tiba kami sudah bertukar pandangan. Bagaimana dia, Adinata, memandang seorang wanita. Dan bagaimana saya, memandang seorang pria. Topik kali ini menjadi hal yang baru bagi pembahasan kami terhitung semenjak delapan bulan empat belas hari kami mulai merutinkan agenda ini satu minggu tiga kali.

"Cowok itu selalu punya pride di depan ceweknya," ungkap Adinata sembari menenggak kopi hitamnya. Walaupun ia mengaku belum benar-benar berteori tentang hal ini, tapi dia bilang tak suka pada wanita yang terlalu meninggikan diri, 'kalau ceweknya udah tinggi dan bisa melakukan semua sendiri, lalu eksistensi gue buat apa?' begitu katanya.

"Kapan lo punya harga diri paling tinggi ketika berada di depan cewek?" cecar saya dengan tanya. Lagi dan lagi.

Adinata tak memilih langsung menyahuti. Usai menguliti ujung kuku ibu jarinya, ia berucap degan tergesa. "Ya kayak gini. Waktu gue merasa lo butuh gue untuk mendengarkan, dan ketika gue merasa lo butuh gue untuk bercerita," jawab Ata diselingi hehe di akhir kata.

Sebagai seorang pengamat sekitar –Saya tidak sedang mengumpamakan kata Ata dengan sekitar– dan sebagai seorang yang merasa paling tahu diri, saya kepada Adinata adalah sebagaimana saya kepada yang lainnya. Lebihnya, saya membutuhkan teori-teorinya sehingga menjadi salah satu sumber acuan saya dalam mengambil keputusan. "Itu kan kebutuhan," sangkal saya menyambar.

"Tuh kan, harga diri saya makin naik lagi," tutur Ata santai sembari menyeringai.

"Lo nggak perlu punya pride di depan gue," ungkap saya masih kuat-kuat mendeklarasikan –pada diri sendiri– bahwa eksistensi Adinata adalah sebagaimana saya kepada yang lainnya.

"Santai, kalau saya sedang suka seseorang, untuk saat ini saya nggak bakal bikin komitmen di masa depan. Karena saya cuma bisa menjanjikan untuk menyukai kamu hari ini, saat ini dan detik ini. Nggak tau kalau esok hari," ungkapnya mengubah gaya bicara.

Dan saat itu juga, deklarasi saya menjadi pernyataan fakultatif. Apakah saya merendah saja untuk memenangkan hatinya, atau meninggi saja agar hilang rasanya.

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now