Penyesalan Adinata

79 10 4
                                    

Ada yang janggal dari air muka Adinata malam ini. Kami masih saja kerasan dengan diam, diantara hiruk pikuk manusia di sekeliling kami yang ramai berbincang. Sekali dua kali saya menghela napas, Ata pun demikian. Sampai batas itu saja, tak ada percakapan sesudahnya.

Salahkan Ata dengan sepihak, mengapa kami menjadi secanggung-canggungnya dua sejoli. Tepat seminggu yang lalu, Ata mengeluhkan dirinya yang dengan mudah mengiyakan ajakan nonton saya sampai ia lupa mengumpulkan tugas besarnya. Katanya, sudah tiga kali hal ini terjadi. "Gue rasa hubungan ini udah ngga sehat, Ra! Kita butuh istirahat," keluhnya.

Saya cuma bisa mengerutkan dahi, Sejak kapan Ata jadi seseorang yang tidak rasional begini. Tidak ada analisis, tidak ada refleksi diri, dan tidak biasanya ia tak menerima jajahan pendapat dari saya, 'egois sekali, enak aja,' batin saya. Karena tidak seperti Adinata Bumantara yang biasanya, saya hanya menanggapinya dengan hehe sekilas. Terserah dia mau apa.

"Kalau tepat satu minggu gue udah terlalu nyaman sendiri, tolong ingetin ya," tukasnya terakhir kali. Egois, lagi-lagi. Untungnya, satu minggu berlalu dan dia sendiri yang ingat bahwa ada saya yang masih ia gantungkan seenaknya.

Di tengah pergulatan batin saya yang akan menyambar Ata dengan bentakan, tiba-tiba Ata mengeluarkan kertas A4 berlembar-lembar dan satu spidol hitam.

"Jadi gini, Ra!" ujar Ata membuka percakapan. Saya menyingkirkan kopi panas di depan, sampai tulisan yang Ata bikin sepenuhnya tertangkap netra saya. Tahu-tahu, ia menceritakan satu minggunya yang seperti biasa, tanpa rehat. Lengkap berurutan dari pagi hingga pagi lagi.

Satu masalah paling besar yang menghantuinya, katanya, "kok gue tetep gelisah?" ujarnya tanpa melihat si lawan bicara. "Maka dari itu, gue cari tau kenapa," lanjutnya.

Ata menggambar banyak lingkaran-lingkaran, dengan judul besar "Penyebab Ata Tidak Tenang". Di sampingnya, ada solusi yang ia pikirkan dan kesemuanya sudah ia lakukan. Dengan sekali tarikan napas, penjelasannya sudah di ambang kesudahan.

Saya tidak memberi tanggapan, sampai Ata berani menatap saya, dan kami masih terdiam. Lalu kebetulan kami membuang napas panjang bersamaan. Di sisi saya, 'Apa sih ini orang maunya?' dan di sisi Ata, mungkin 'Udah paham belom maksudnya?'

"Oke, jadi kamu tau apa yang kurang? Ada variabel yang sengaja tidak saya libatkan!" sejak kapan juga obrolan kami jadi saya-kamu begini.

"Hah? Apa?"

"Eksistensi kamu"

Ata melanjutkan analisisnya, di lembar berikutnya. Ia mengilustrasikan kemungkinan-kemungkinan jika variabel "saya" diletakkan pada tiap elemen kehidupannya. "Kalau gini kan sempurna," ujarnya sambil menyodorkan kertas itu mendekati saya. Tanpa ia lakukan, saya juga tahu kalau nama saya yang paling besar ditulis di situ.

Saya terpingkal. Muka Ata yang tadinya tegang, sekarang dibuat kebingungan. Sudah ingin saya remas itu hidung dan pipinya, kalau saja tidak banyak orang di sekitar.

"Kesimpulannya?" Tanya saya sembari menahan tawa.

"Saya butuh kamu"

"..."

"Ini beneran"

"..."

"Sumpah nggak lagi gombal"

"..."

"Maaf"

Kami berdua terbahak-bahak akhirnya, Ata yang merutuki kebodohannya dan saya yang ikut membodoh-bodohi tindakan Ata.

"Iya, lain kali saling ingetin aja"

"Jangan egois pokoknya"

"Iya iya"

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now