Bukan Rumah Adinata

65 8 6
                                    

Menjadi kawan terdekat Adinata adalah hal yang paling saya sayangkan sejauh saya mengenalnya sedari berseragam putih-biru tua. Lebih-lebih ketika dia sudah memilih rumahnya untuk pulang, menyebut kekasihnya sebagai supporting system dalam menjalankan segala riwehnya kehidupan.

Yang patut saya syukuri, Ata tak serta merta menanggalkan nama saya dari daftar sahabatnya – bisa jadi karena saya adalah satu-satunya. Ia masih memerlukan pendapat saya tentang kado apa yang cocok untuk gadisnya, masih mengindahkan usulan saya untuk menyuap bunga ketika emosi gadisnya meluap. Yang menjadi favorit saya adalah ketika kami masih saling bertukar pandangan dan pikiran, apapun, di setiap celah kehidupan. 'Cewek gue nggak bisa diajak diskusi macem gini' akan selalu menjadi motivasi saya untuk tak pernah menyerah menjadi teman diskusinya.

Terbukti, malam ini Ata sudi menangguhkan pertemuan dengan gadisnya hanya demi memenuhi rutinitas obrolan tak pasti di salah satu warung kopi, dengan saya seorang diri. Mungkin episode hari ini tak sampai dini hari. Tapi tak apa, setidaknya dua jam cukup untuk saya berulang kali mengagumi jutaan wawasan Adinata, lagi dan lagi.

"Apa yang membuat lo merasa selalu bisa balik ke cewek lo, Ta? Gue mengharapkan jawaban logis ya atas pertanyaan ini, bukan perasaan," Tanya saya atas dasar pernyataan Adinata sebelumnya. Katanya, pada akhirnya sekeren apapun cewek lain di dalam circlenya, sebanyak apapun kepentingan dengan beberapa gadis di luar sana melebihi intensitasnya dengan gadisnya, Ata selalu merasa akan kembali pada Kyla, si Supporting System.

"Mungkin karena kita pacaran, gue sudah tersugesti bahwa apapun yang terjadi di luar sana, gue harus setia, bagaimanapun caranya," jawabnya tak terdengar serius, tapi cukup masuk akal.

"Bisa jadi sih," sahut saya sederhana karena sempat terpikir jawaban itu pula.

"Kenapa? Lagi suka seseorang?" cecar Ata dengan muka sumringah. Kepala saya menggeleng perlahan, tanda menyangkal asumsinya barusan.

"Buang-buang waktu, Ta," ujar saya membuka topik. Ata langsung mengernyit. "Suka atau nggak suka sama seseorang, nggak akan ada tindakan yang gue lakukan. Jadi buang-buang waktu," tandas saya di akhir kalimat.

Adinata mengisap rokoknya, lantas memalingkan muka sebelum mengembuskan kepulan asapnya. Paham teori saya tak hanya berakhir demikian, Ata melempar kail dengan kata 'Lalu?'

"Daripada gue harus buang-buang waktu untuk menyimpulkan bahwa gue suka seseorang, lebih efektif kalau gue hanya akan membuka hati pada orang yang suka sama gue. Setidaknya ada hal yang akan gue lakukan, minimal sekadar mempertimbangkan," tutur saya panjang kali lebar. Melirih di akhir kalimat memang, karena bebarengan dengan kerutan di dahi Ata yang mengalami peningkatan.

"Lo terlalu fokus sama efektif dan tidak efektif, untung dan tidak untung," tanggap Ata seraya mengangguk. Seakan telah memafhumi isi kepala saya.

"Apa salahnya? Kan itu salah satu strategi gue menyusun rencana hidup," sergah saya dengan nada biasa. Kerut di dahinya sudah tiada.

"Dulu gue juga gitu, sebelum ketemu Kyla..." lidahnya digantung sepersekian detik. Masih ada yang tertahan untuk dilontarkan. "Kalau gue cuma mikir untung dan efektif, gue udah nembak elo kali," titah Adinata merehatkan fungsi sekujur tubuh saya.

"Nggak sesederhana itu," imbuhnya masih membuat saya bungkam. Netra saya tiba-tiba tak segagah mulanya. Bimbang menerawang ke depan. Beberapa gumpalan es teh yang sesaat lagi sepenuhnya melebur menjadi objek bidikan lengang. Sampai saya sadar ternyata obrolan kami sudah di ambang kesudahan.

"Kadang, beberapa hal yang nggak menguntungkan memang tetap perlu dilakukan..."

"untuk membuat hidup lo lebih hidup," pungkasnya menyudahi pertembungan kami malam ini.

Tapi jika dipikir lagi, seumpama menyukai seseorang hanya akan membuang-buang waktu saya, lalu yang selama ini yang saya rasakan kepada Adinata apa? Saya yakin bukan karena untung tidak untung, pun efektif tidak efektif.

Kiranya pada pertemuan selanjutnya, saya akan menegaskan bahwa teori barusan tidak benar-benar saya terapkan. Tapi apakah perlu untuk diklarifikasi jika ujung-ujungnya sama saja dengan mengungkapkan isi hati? 

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now