Jodoh Adinata

108 10 6
                                    

Meski sempat melayangkan protes terlalu cepat untuk ukuran sequel film, toh pada akhirnya kami (Adinata Bumantara dan saya, red) tetap mengkhatamkan Dilan 1991. Setalah film pertamanya juga sempat kami tonton bersama. Bukan Ata banget memang, tapi sesibuk-sibuknya mahasiswa yang masih memusingkan tugas besar Studio Perancangan Arsitektur III, pada akhirnya ia juga termakan rasa penasaran.

Masih pukul 00.20, belum terlalu larut untuk saya dan Ata hanya diam di perjalanan menuju parkiran. Belum terlalu lelah juga untuk kami tak menyinggung apapun soal apa yang baru saja ditampilkan di layar. Biasanya, puncak ke-sok-tahu-an kami ada di saat-saat seperti ini. Dari color grading, pemilihan tokoh, latar tempat, waktu, sampai akting tokoh kami didis satu-satu. Yang terpatri di otak saya saat itu hanyalah: Dilan dan Milea memang tidak berjodoh.

"Kalau kita nggak jodoh, gimana, Ta?" spontan saya tak terencana. Hanya bisa menyesal setelahnya.

Ata seperti tak mengindahkan kalimat saya, syukurlah. Ia menstarter motor ninjanya, membayar lima ribu rupiah, kemudian keluar dari pintu utama, dan saya masih berharap ada sedikit konversasi sebelum sampai rumah.

"Kan sekarang kita sedang berjodoh," ujarnya kalem sambil membuka kaca helm. Saat itu, tidak ada interupsi bagi saya yang hanya mendefinisikan jodoh se-mainstream menikah, dan bersama sampai tutup usia.

"Jodoh itu ketika kita mencintai di waktu yang tepat. Bedakan jodoh dengan menikah," saya memajukan muka, berusaha sebaik mungkin menangkap segala teori versi Ata dengan telinga yang kemampuannya makin melemah. Salah saya karena tiap hari pekerjaannya mendengarkan lagu-lagu Nirvana dengan volume di atas rata-rata.

Kalau Adinata sudah mulai berteori, otak saya harus mulai bekerja ekstra dan hati-hati. Memori saya mulai menggeledah buku-buku yang pernah saya baca, kutipan yang pernah disampaikan Adinata, hingga mata kuliah Aljabar Linear yang siapa tahu, ada hubungannya.

Dan Voilà!, pencarian memori saya berhenti pada kesimpulan diskusi di ratusan malam lalu. Saya dan Ata pernah bersepakat bahwa cinta memang bisa kadaluarsa. "Karena ketika cinta sudah kadaluarsa, pilihannya hanya dua. Mencari cara dan alasan lain untuk kembali mencintai orang yang sama, atau bepindah hati pada yang lainnya," tutur saya setengah berteriak tepat di telinga Ata. Jentikan jari Ata memberi pertanda bahwa alur yang ia bawa berhasil saya lanjutkan sebaik-baiknya. "Kalau menikah?" imbuh saya mencoba dua arah.

"Akan selalu ada banyak alasan untuk kembali mencintai ketika menikah, kan? Bisa karena anak-anak yang menjadi alasan, atau sesederhana rasa perhatian dalam semangkuk sarapan," sergah Adinata cepat beriringan dengan kesadaran saya bahwa ini sudah kali ketiga kami melewati gang yang sama.

"Makannya, benar kalau sekarang kita sedang berjodoh," tegas Adinata seakan tak menerima sanggahan. Kemudinya dibelokkan ke kiri menghindari gang rumah saya di sebelah kanan.

"Sekarang aja?" cecar saya menggoda. Ada deheman kecil meluncur dari lisan Adinata setelahnya.

"Santai, kalau sedang bosan, seorang Adinata Bumantara akan selalu punya cara dan alasan untuk kembali pulang," tandasnya sembari menahan tawa. Mungkin sekujur tubuhnya kegelian karena mulut Adinata tidak dengan gampangnya melempar rayuan.

"Pulang kemana?"

"Rumah, lah! Udah sampai nih. Mau muter lagi?" tepat saat itu kewarasan saya kembali menghampiri.

Adinata sudah mematikan mesin tepat di depan rumah saya. Ternyata obrolan kami hanya berlangsung setengah jam lamanya. Adinata melambaikan tangan, saya pun demikian. Ia melebarkan senyuman sambil saya berusaha percaya bahwa Ata dan saya, selalu punya cara untuk kembali bersama. Kalau pun nanti masing-masing dari kami memilih untuk bepindah hati, kami pernah bersepakat bahwa itu adalah pilihan. Tidak ada yang salah, bukan?

Dasar pasangan sok ideal.

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now