Tuh, Kan! Ata!

177 18 0
                                    


Tuh, kan! Benar!

Saya cuma berdiri kaku, diantara banyak orang yang mulai menggerakkan kaki, atau mengangkat tangan. Hampir semua turut bernyanyi, diantara sapuan pendar warna-warni lampu dalam keramaian. "Aku dirimu dirinya tak akan pernah mengerti..." lempar salah seorang vocalis pada penonton. Bukan tidak peka, saya diam saja karena tidak tahu apa lirik selanjutnya.

Sampai habis lagu ke dua, saya masih kaku berdiri. Tidak ada gerakan kaki atau sekadar goyangan jari. Sama sekali. Berniat membunuh penat, malah merasa salah lapak. Kalau saja tidak ada lengan yang menyinggung jaket saya, bisa dipastikan saya tetap berada di posisi semula sampai tuntas acara.

Saya memutar kepala, ada wajah yang baru, bukan, selalu, tiap pagi menyapa ramah. Sama sekali tidak merasa dibuntuti, tapi bagaimana bisa Adinata menemukan saya tepat disini.

Dari Cerita cinta, Cinta Sendiri, dan Rahasia Cintaku sama sekali tak membcuat kami bergerak. Saya hanya menyilangkan tangan di perut. Pun adinata melihat panggung bak mendengarkan dosen termodinamika dengan integral cacingnya.

Hampir lagu terakhir berkumandang, muka Ata mendekat ke telinga. "Sendirian?" tanyanya langsung saya jawab dengan anggukan. Serta merta air mukanya berubah meremehkan. Sampai di lagu terakhir se-mainstream Cantik, kami masih berdiri diam di tengah teriakan. Kami jadi seperti tim pengaman yang menyusup di tengah pemudi yang bergoyang.

Kami pulang, setelah dengan senang hati saya ditawari tebengan. Betapa tidak membuang waktu jika kami harus diam saja dalam perjalanan cukup panjang menuju parkiran. Tapi Ata tak tinggal diam, ia mulai bercerita bagaimana ia bisa sampai sana, langsung menemukan saya, lalu berdiri, tanpa tahu siapa yang bernyanyi -_-.

Sampai di parkiran, bak dihadang gerombolan preman, kawan Adinata tiba-tiba mengepung kami dari depan. Cara berjalan saya yang beriringan saya ubah, makin lambat, satu dua hingga tiga langkah di belakang.

"Waduh Ata bawa yang baru!" Tuh, kan! Celetuk salah satunya kencang.

"Kenalin lah, Ta!" buru-buru saya mencubit lengan jaket himpunan Ata. Panas lah kuping saya dengan yang begituan, tidak suka!.

"Yasudah sini," balas Ata dengan bodohnya menanggapi. Sembari dua tangannya menggamit bahu saya. Dan menggiring pelan saya mendekat menuju tiga temannya. Saya yakin orang yang berada di depan saya adalah si kakak tingkat seangkatan Ata yang suka nongkrong sok rapat sampai pagi tiba.

Ata menyebut nama ketiga temannya, Siapalah ada yang berawalan huruf B, yang perempuan berakhiran huruf i, dan yang terakhir... demi semesta! Masa bodoh saya!

Pun akhirnya kami pulang. Menghilangkan hipotesis sesungguhnya alasan Ata langsung berdiri kaku di sebelah saya, mengapa sempat ia memperkenalkan saya pada gerombolannya. Iya, harusnya biasa saja.

Di perjalanan, lagi. Adinata bercerita bagaimana dia ketika tahun kedua, seumuran saya, menjadi mahasiswa mbambet bullyan kakak tingkatnya. Bagaimana ia dipercaya menjadi ketua di angkatannya, sampai sekarang ia menyesal mengapa belum diturunkan. Kadang terselip bagaimana rusuhnya kehidupan menjadi aktivis himpunan. Dimaki wali mahasiswa sering, dirongseng kepala jurusan apalagi.

Saya tertawa mendengarnya, Adinata selalu ekspresif ketika bercerita, membuat saya tak bosan bertanya tentang bagaimana dan bagaimana lainnya. Di depan kos-kosan tempat saya tinggal, Adinata berpamitan singkat. Melambaikan tangan dan berpesan "Jangan lupa dipertimbangkan".

Tuh, kan! Benar!

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now