Adinata Bukan Dilan Saya

140 17 11
                                    

"Nonton Dilan ya?"

Ucap Adinata Bumantara bersamaan dengan mbak-mbak penyobek tiket bioskop mengembalikan kertas sisanya di depan pintu masuk teater dua. Tadi, Ata serta merta membonceng saya ke XXI. Loh? Ini gimana? Batin saya.

"Nanti kalau mau teriak, teriak aja. Temen-temenmu udah pada nonton, kan?" dengan nada bertanya, saya tahu Ata tak pernah butuh jawabannya. Saya membenarkan posisi, tak acuh pada sejuta interupsi serupa mengapa Adinata membawa saya kesini.

Siapa yang tidak tahu kisah 'heroik' Dilan yang membebankan rindu milik Milea hanya pada dirinya semata. Manis, iya. Tapi saya tidak suka. Tidak suka melihat hal-hal demikian yang akan membuat Adinata bisa saja berpikir bahwa cara menatap, cara merayu, pun semua cara-cara sederhana yang dilakukan Dilan adalah hal yang saya suka, dan dia harus melakukannya.

"Dilan, aku rindu," senyum yang sedari tadi mati-matian bersembunyi, berakhir mekar sendiri.

"Jangan rindu, berat, biar aku saja,"seisi bioskop berteriak, saya pun tak sungkan menggelakkan tawa. Tapi tidak lama, saya nggak mau Ata melihat saya terlalu bahagia. dikiranya Dilan begitu mempesona. padahal yang saya bayangkan cuma Adinata.

Betulan, saat itu, jaket denim milik Dilan tiba-tiba menjadi jaket bomber coklat punya Ata. Waktu SMA, Ata juga suka tawuran sama sekolah sebelah. Kalau setelahnya Milea mengobati luka Dilan dengan romantisnya, saya dulu cuma memberikannya obat merah dan berlalu begitu saja. Tidak ada yang namanya meninggalkan motor demi menemani Milea pulang dengan angkutan umum. Kalau Ata, cuma sering membuntuti saya pakai motornya, dari belakang, tanpa penawaran untuk menumpang.

"Gimana Dilannya? Suka?" tanya Ata pada saya yang refleks menganggukkan kepala.

"Tau nggak, kalau romantisnya Dilan itu ada karena bapernya Milea," jelas Ata sembari memindah kuasa helmnya ke tangan saya. Saya diam, Ata melanjutkan, "Makannya, kalau digombalin itu responnya yang bagus kayak Milea," Saya tertawa kencang di parkiran. Mungkin Ata memang sepandai itu merangkai kata atau melempar gombalan. Tapi saya kadang cuma membalas 'Bodo Ata!' atau 'Iya udah tau'.

"Kenapa juga harus susah-susah jadi Dilan, eksistensi Adinata Bumantara dan jokes recehnya udah cukup kok," kalimat saya membuat Ata mengeluarkan sumpah serapahnya. Siapa suruh meminta saya jadi kayak Milea.

"Gausah sok-sokan, gacocok," kelakar Adinata diikuti tawa kami berdua.

Saya salah. Ternyata Adinata sebegitu percaya dirinya. Jadi, tidak ada yang perlu menjadi Milea atau Dilan di hari-hari setelahnya.

Jadi Dilan itu siapa? Saya cuma kenal Adinata.

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now