Peluh & Darah - Eps. 56

137 7 0
                                    

Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat

6 Maret 2016


Beberapa jam berlalu. Akhirnya mereka mendarat di Cidahu, Sukabumi, sisi sebelah selatan kaki Gunung Salak. Tak banyak orang saat itu, bahkan nyaris tak ada satu pun orang. Kirana turun dari helikopter setelah Elizabeth dan Klaus. Tangannya tak lagi terikat, karena Elizabeth tak ingin orang curiga dengan pemandangan seperti itu. Sinar matahari terasa hangat di kulit Kirana. Udara pun terasa begitu segar. Dari tempatnya berdiri saat itu, Kirana dapat melihat keindahan pemandangan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang sangat megah. Di sebelah utaranya, ia dapat melihat hutan damar milik Perhutani yang lebat. Seingat Kirana, Cidahu merupakan salah satu kawasan perkemahan. Harusnya, dia bisa mendapatkan pertolongan di tempat ini. Tapi entah mengapa, siang itu suasananya begitu sepi.

Helikopter itu pergi tak lama setelah Peter menurunkan beberapa barang milik mereka.

"Kemana kita akan pergi kali ini, Liz?" tanya Klaus dengan suara khasnya yang berat.

"Kita akan ke Puncak Satu," jawab Elizabeth yang sudah mengikat rambutnya dan mengenakan kacamata hitam. Ia juga sudah menggantung ransel di punggungnya.

Peter menyeret satu tas yang belum pernah dilihat Kirana sebelumnya. Sepertinya tas itu berat. Namun, ia tak dapat menerka apa isinya.

Mau tak mau, Kirana berjalan mengekor tiga orang asing itu. Lagi-lagi ada sensasi panas menjalar di bagian belakang tubuhnya. Berulang kali dia melafalkan doa, meminta keselamatan, dan kekuatan. Elizabeth tak pernah memberinya izin untuk melakukan sholat apapun. Kirana mau tak mau, beribadah dengan posisi yang ia bisa lakukan saat itu. Duduk, berdiri, bersandar dinding, atau apapun agar ia tetap dekat dengan Sang Pencipta-Nya. Satu-satunya Pelindung yang ia miliki.

Setapak demi setapak, mereka berjalan menyusuri jalur pendakian. Sempat terhenti beberapa kali untuk membeli tiket masuk. Ada beberapa rombongan pendaki lain yang juga melakukan perjalanan yang sama seperti mereka saat itu. Kirana membuang muka. Ia tak ingin siapapun melihatnya saat itu.

Dari pos pendakian menuju pintu masuk hutan masih berupa aspal dan ada warung yang berjualan di beberapa tikungan. Beberapa kali, Elizabeth sempat meminta berhenti untuk sekadar membeli minum dan mengambil napas. Kirana hanya diberi satu botol minuman. Gadis itu bahkan tak diperbolehkan untuk berbicara apapun kepada mereka atau siapapun yang tak sengaja melintas.

"Aku tak ingin membunuhmu, tapi aku bisa membunuhmu kalau terpaksa," bisik Elizabeth ketika mereka berhenti di salah satu warung.

Kepala Kirana menunduk. Ia terus berdoa agar segera lepas dari orang-orang jahat itu dan bisa kembali pulang menemui kakek dan adiknya.

Jalan yang mereka susuri sudah semakin jauh. Peter dan Klaus sempat membuka jaket mereka karena tubuhnya dibanjiri peluh, sesaat sebelum mereka tiba di loket pendakian untuk membeli tiket. Sinar matahari semakin meredup. Kirana melihat jarum jam di tangan kanannya, sudah menunjukkan pukul lima sore.

"Apakah masih jauh?" Klaus tersengal. Laki-laki tua dan hobi menenggak minuman keras seperti dia, membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa berjalan mendaki gunung seperti itu.

"Sebentar lagi kita sampai di Bajuri. Kita akan istirahat di sana. bertahanlah, Klaus. Jangan seperti anak kecil!" ucap Elizabeth yang terus melangkah, berusaha mengesampingkan fakta bahwa rekannya itu mulai payah.

Peter sedari tadi hanya bisa terdiam, sambil membawa barang-barang mereka. Ada satu barang yang membuatnya cukup kesulitan. Metal detector. Namun, ia tak mengeluhkan apapun. Napasnya sedikit tersengal, tapi tenaganya masih cukup mampu untuk terus berjalan menuju tempat yang dimaksud oleh Elizabeth.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWo Geschichten leben. Entdecke jetzt