Penjaga Mahakam - Eps. 40

144 9 0
                                    

Napas mereka tersengal, sambil sesekali saling menatap dan melirik. Mencoba menerka, menatap ke sekeliling area yang hanya diterangi sinar rembulan petang. Tak ada suara lain, selain deru angin dan beberapa hewan malam yang menimbulkan sensasi pilu dan seram. Suara burung nyaring terdengar dengan cukup parau dan membuat sesak karena berhasil membuat ketiganya bergidik. Dirga menarik kedua temannya itu semakin ke sudut batuan. Namun, entah siapa yang salah menjejak. Mereka malah jatuh terperosok ke dalam sebuah goa bawah tanah. Spontan, mereka berteriak sangat nyaring dan berakhir dengan bunyi berdebum kencang karena tubuh terhempas ke tanah, tepat di dasar goa yang untungnya tak berbatu. Hanya pasir lembut seperti debur pasir pantai.

Dengan cepat, Dirga mengangkat wajahnya yang terbenam pasir berwarna keemasan itu. Mata, hidung, dan mulutnya penuh dengan pasir yang mengganggu. Ia berdiri perlahan karena nyeri di sekujur tubuhnya akibat terjun bebas. Beberapa kali juga ia mendengus sekadar membersihkan hidung dan mulutnya.

"Kalian nggak apa-apa?" tanya Dirga ketika melihat Al dan Kenan masih terjerembap seolah enggan bangkit.

"Sepertinya kacamata dan kameraku pecah," ujar Kenan pilu.

"Aduuuh!" erang Al memegangi tangannya ketika Dirga membantunya berdiri. Topi pet-nya entah terlempar ke mana. Laki-laki itu tak lagi mengenakan benda kesayangannya.

"Yakin pecah?" tanya Dirga menatap Kenan yang memilih untuk tetap duduk dan memeriksa kameranya, setelah berhasil menemukan kacamatanya tak jauh dari tempatnya terjatuh tadi. Beruntung, kacamatanya baik-baik saja.

Kenan yang sudah mengenakan kacamatanya kembali itu pun mengangguk, lalu melepaskan tali kamera dari lehernya. Kemudian, meletakkan kamera itu begitu saja di dekatnya. "Sepertinya hanya lensanya saja yang pecah. Aku bawa lensa cadangan kok," ujarnya sambil melepaskan ransel besar di punggungnya.

Dirga mengeluarkan senter dari dalam tas. "Baguslah," katanya lirih sambil mendongak ke atas, lubang besar, satu-satunya jalan keluar mereka dari tempat itu.

"Ga..." Al menarik lengan jaket yang dikenakan Dirga.

"Iya aku tahu kita butuh tenaga ekstra biar bisa keluar dari sini. Semoga sedikit keahlianku soal panjat memanjat bisa membantu kita bertiga keluar dari sini," kata Dirga penuh keyakinan, seraya melepaskan ransel di punggungnya, mencari peralatan yang tepat.

"Ga..." Al kembali menarik lengan jaket Dirga. Kali ini tarikannya lebih kencang.

"Apa sih?" Dirga kesal karena rengekan Al itu, tapi ia menoleh.

Al menunjuk sesuatu dengan jemarinya. Tepat dengan kilatan cahaya flash dari kamera Kenan yang membidik tepat ke arah sebuah ukiran besar berbentuk naga meliuk.

Dirga terperangah. Belum pernah ia melihat relief naga sebesar dan serumit itu. Biasanya, relief yang ia temukan hanya berupa ukiran pada batu, tetapi kali ini berbeda. Dinding goa itu layaknya emas yang dipahat. Tepat di kanan kiri dan bagian atasnya tumbuh stalagmit dan stalagtit yang berkilau karena tetesan air, serta pantulan cahaya senter Dirga. Setiap sisinya terukir rapi dengan emas berkilauan memesona. Ia beranjak mendekati relief itu.

"Keren," gumam Kenan penuh takjub. " Sang legenda Mahakam!" ujarnya.

Al menatap ke arah relief naga yang taringnya menghunus ganas, serta sayap terbentang indah itu dengan bergidik. "Ini seperti pintu," ujarnya. Mata Al mengamati setiap bagian di sekitarnya. "Ga, tempat ini persis dengan yang diceritakan Ayah di jurnalnya. Stalagmit dan stalagtit ini," kata Al lagi dengan setengah melongo.

"Ya dan ternyata ayahmu benar. Tadinya, kukira Elizabeth memang menunjuk ke lokasi yang sama. Mengingat betapa terjalnya perjalanan kita tadi. Begitu berbeda dengan kondisi goa Lebaho Ulaq kan?" kata Dirga yang masih menelusuri relief di hadapannya dengan sentuhan jemari.

"Ga, coba lihat deh!" Kenan memberikan kameranya pada Dirga. "Sepertinya ada tulisan yang melingkari relief naga ini," tambahnya.

Samar, Dirga memang melihat seberkas huruf-huruf berderet rapi di sana. Hanya saja tertutup oleh tebalnya debu dan pasir. Cepat-cepat Dirga menyerahkan kamera itu kembali pada pemiliknya dan menggosok relief itu perlahan. Benar kata Kenan, ada deretan huruf palawa tersusun rapi di sana.

"Baguslah, tak ada Kirana yang bisa membantu kitamenerjemahkan huruf itu," kata Kenan putus asa.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now