Bidadari Pasundan - Eps. 8

245 14 0
                                    

Cepat-cepat, Dirga membuka ranselnya dan mengambil lembaran kertas skripsi-nya. "Ini, Pak."

"Ah, iya." Pak Heru menerimanya dan kemudian mulai membaca. Sesekali, ia menandai beberapa tulisan menggunakan spidol berwarna biru. Keheningan menyergap ketika lelaki itu tengah sibuk mengoreksi pekerjaan Dirga. Beberapa kali alisnya bertaut, lalu manggut-manggut, kemudian kepalanya menggeleng perlahan dengan sudut bibir membentuk lengkungan tipis.

"Bagaimana, Pak?" tanya Dirga yang semakin penasaran.

Pak Heru mengangkat kepalanya dan menatap Dirga lekat. Ia menghela napas panjang. "Penelitianmu tentang leluhur bangsa Indonesia ini cukup menarik. Kamu benar, tidak semua orang percaya bahwa kita ini adalah keturunan bangsa Lemurian. Sedikit koreksi dari saya untuk tulisan kamu di bab ketiga. Coba kamu cari referensi yang lebih kuat, bukan atas dasar cocoklogi dan tebak-tebakan saja. Berhati-hatilah, karena ini ilmiah, Dirga!"

Ada sedikit rasa lega menyeruak dalam dada Dirga, karena ternyata tak terlalu banyak koreksi dari Pak Heru. "Baik, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin."

Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu ruangan Pak Heru. Belum sempat sang pemilik ruangan mempersilakan masuk, si pengetuk sudah menerobos masuk. Ternyata Bu Ida, salah satu staf tata usaha.

"Maaf, Pak. Dirga harus ke ruang Dekan. Kebetulan tadi saya melihat anak ini masuk ke sini. Sekarang dia harus menghadapi masalah cukup besar," kata Bu Ida sinis. Bukan karena memang wajahnya sudah sinis, tetapi memang sepertinya ada masalah besar yang harus dihadapi Dirga sebentar lagi.

"Ada apa, Bu?" Dirga bingung.

"Pergi saja temui Pak Efendi," kata wanita itu dengan nada menyebalkan dan kemudian menghilang di balik pintu.

"Kamu ada masalah apa?" Pak Heru menggenggamkan kedua tangannya ke atas meja dan menatap Dirga dengan kening berkerut.

Kepala Dirga menggeleng pelan. "Setahu saya tidak ada, Pak," jawab Dirga sembari memasukkan kembali berkas skripsinya ke dalam ransel.

"Hmmm, ya sudah. Kalau begitu lebih baik kamu segera temui Pak Efendi," pinta Pak Heru. "Kita ketemu lagi minggu depan ya!" lanjut lelaki itu.

"Baik, Pak." Dirga pamit dan bergegas keluar ruangan. Dengan setengah berlari ia melewati lorong kampus hingga akhirnya tiba di gedung D, letak ruangan dekan berada. Dari balik jendela kaca yang sebagian tertutup tirai tipis berwarna biru itu Dirga melihat beberapa orang di sana tengah berbicara serius dengan Pak Efendi. Salah satunya adalah Al alias Albert, sahabatnya yang selalu bangga menambahkan "Einstein" di belakang namanya sehingga menjadi "Albert Einstein" abal-abal.

Dirga mengetuk pintu perlahan dan kemudian disahuti suara Pak Efendi yang mempersilakan dia masuk.

Ada sekitar lima orang selain dia dan Pak Efendi di dalam ruangan itu. Tiga orang yang ia ketahui sebagai anak-anak jahil, si korban pelaku pelempar tempat sampah, dan juga Al yang sudah melepaskan topi kesayangannya dari puncak kepala. Dirga pun mulai bertanya-tanya dalam hati.

"Siang, Pak!" sapanya penuh santun.

"Siang, Dirga. Silakan duduk," ujar Pak Efendi yang sedang mengenakan pakaian pramuka lengkap itu dengan ekspresi datar. Lelaki setengah baya itu sepertinya baru saja menghadiri acara yang mungkin berkaitan dengan pramuka, pikir Dirga. Ia berdiri dengan melipat kedua tangannya di depan dada. "Nah, kalian sudah lengkap sekarang. Ada yang tahu mengapa saya memanggil kalian ke sini?"

Dirga diam, tetapi matanya bergerak menyusuri satu persatu wajah adik-adik kelasnya itu dengan cermat. Tampang mereka terlihat menyebalkan dan tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Pak Efendi.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now