Artefak Kuno - Eps. 20

184 14 1
                                    

Kamar hotel Dirga

1 Maret 2016


Kening Kenan berkerut. "Entah kenapa aku merasa nggak asing dengan artefak ini," ujarnya menatap foto yang dikirim Dirga melalui whatsapp.

Dirga seolah tak mempedulikan perkataan teman barunya itu. Dia terlalu girang untuk bisa memecahkan teka-teka aksara kuno di hadapannya, meskipun ia juga belum mendapat jawaban lengkap atas pertanyaannya pada Elizabeth tentang Lemurian dan Atlantis. Mata Dirga juga tengah menatap foto yang sama. Foto sebuah artefak kuno yang disinyalir Elizabeth berbentuk satu medali emas utuh, tetapi terpecah dan tersebar ke beberapa daerah.

"Maksud kamu nggak asing gimana, Ken?" tanya Kirana yang baru saja mengalihkan pandangan dari foto yang sama di ponselnya. Aksara kuno yang terukir pada artefak itu terlihat tidak asing baginya. Kakeknya sering mengajarinya tentang aksara-aksara seperti itu sejak ia masih SD. Hanya saja, Kirana belum tertarik untuk membacanya. Entah mengapa.

Tangan Dirga yang sedari tadi sibuk corat-coret di notebook-nya itu pun mendengus kesal. Ia meletakkan bolpoinnya di meja, kemudian menatap Kenan dan Kirana. "Kenapa kalian nggak bantuin aku untuk memecahkan aksara itu sih?"

"Maaf, Ga, aku bukannya nggak mau bantu tapi aku penasaran karena artefak itu nggak asing," jawab Kenan sambil mengambil alih buku dari atas meja di hadapan Dirga. "Aksara kuno seperti ini tidak mungkin ditulis tanpa makna ..." gumam Kenan.

"Kamu kan mahasiswa arkeologi ya? Kenapa nggak bisa baca palawa?" tanya Kirana menohok.

Dirga menelan ludahnya sendiri. Malu dan sedikit kesal dengan pernyataan yang keluar dari bibir wanita yang akhir-akhir ini dipujanya itu. "Aku sudah mati-matian berusaha mempelajari palawa, tapi nggak tahu kenapa aku susah banget untuk mengingat huruf demi hurufnya. Mataku sudah juling duluan," jawab Dirga asal.

"Kok bisa jadi mahasiswa teladan ya?" gumam Kirana lagi.

Wajah Dirga merah padam. "Mungkin Pak Heru salah lihat nama," katanya datar.

Gadis yang berdiri tepat di samping Dirga itu terkekeh, sambil menatap aksara itu lekat.


தஞ்சைபுரத்தில் உள்ள நிலம்


Kirana merampas buku dari tangan Kenan. Ia duduk di atas tempat tidur. Sesekali, Kirana menatap ke arah langit-langit sambil menggigiti bibirnya. Tangannya ikut asyik membuka beberapa lembar halaman buku itu, karena ada beberapa huruf yang samar. Itu yang membuatnya ragu. Dirga dan Kenan hanya bisa duduk menunggunya menganalisa dan menerjemahkan ukiran aksara kuno itu.

"Butuh ini?" Dirga yang sudah berjalan ke arahnya, menyodorkan bolpoin dan secarik kertas yang tadi ia geletakkan begitu saja.

Kirana tidak menjawabnya, tapi ia menerima bolpoin dan secarik kertas dari Dirga, kemudian kembali asyik mencorat-coretnya. Kirana menuliskan kembali aksara yang ia lihat dari foto di ponselnya, kemudian menuliskan satu kalimat di bawah deretan huruf kuno itu. Ia segera memberikan kertas itu kembali pada Dirga. "Semoga tebakanku benar," katanya.

Kening Dirga berkerut ketika membaca tulisan Kirana yang berbunyi, jadilah angin di Swarnadwipa.

"Bisa jadi, ini adalah petunjuk lokasi suatu benda kuno peninggalan salah satu kerajaan di Indonesia," kata Kirana menambahkan.

"Jadilah angin di Swarnadwipa," gumam Dirga.

"Tunggu! Aku pernah mendengar kisah tentang suatu artefak berbentuk medali di zaman peradaban tertua. Medali cantik itu merupakan kunci dari suatu peninggalan berharga di masanya. Medali itu sengaja dipecahkan menjadi empat bagian. Bentuk aslinya adalah bulat dan mengandung emas serta perak murni berusia ribuan tahun. Tepat di tengahnya ada ukiran berbentuk burung Garuda. Setiap potongan medali itu terukir satu kalimat yang berbeda. Salah satunya adalah yang kamu sebutkan tadi. Persis dengan artefak yang ada di foto tadi," jelas Kenan yang entah mengapa tiba-tiba merasakan sapuan hawa dingin menyentuh tengkuknya. Ia bergidik sambil mengusap tengkuknya cepat. Bahkan, ia sempat menoleh karena merasa ada seseorang di sana, padahal jelas-jelas ia sedang berdiri membelakangi dinding kamar hotel Dirga.

Mendadak, Dirga merasakan hal yang sama. Ia yakin benar sudah menaikkan suhu  AC di kamarnya itu, tapi entah mengapa tiba-tiba suhu kamar itu menjadi lebih rendah dari sebelumnya. Kirana bahkan sudah mengusap kedua lengannya cepat untuk sekadar memberikan sentuhan hanga dan menghalau bulu kuduknya yang tiba-tiba meremang.

Jantung Dirga berdegup tak keruan. Mereka bertiga saling tatap dalam diam.

"Uhm, gimana kalau kita ngobrolin ini di kafe depan hotel aja. Mendadak perasaanku nggak enak kalo kita di sini," ajak Dirga yang segera disetujui oleh Kenan dan Kirana dengan sebuah anggukan cepat dan beringsut menghilang di balik pintu.

Secarik kertas berisi aksara kuno yang berhasil dipecahkan oleh Kirana tadi bergerak perlahan seperti diterbangkan oleh angin sepoi-sepoi, padahal jendela di ruangan itu terkunci rapat. Perlahan tapi pasti, kertas itu akhirnya melayang di udara seolah-olah diangkat oleh sesuatu tak kasat mata, lalu terhempas kembali di atas meja. Sedetik kemudian tiba-tiba api menyala membakarnya. Hanya tertinggal abu dan sedikit ujung serpihan kertas penuh jelaga hitam.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang