"Kok nggak digalakin sama kamu? Aku yakin deh, pasti baru tadi kamu ngomongnya nyelekit sama Jonas. Padahal, kalau sama aku nih, kamu galaknya minta ampun."

"Kalau kamu bisa meluk padahal aku lagi kegerahan dan bau keringat, itu artinya hatiku dalam mode malaikat, Ken," tangkis Febe seenaknya. Perempuan itu memandang ke seantero ruangan yang sudah rapi.

"Aku tadi udah pengin maki si Jonas aja. Ngapain coba bilang aku cakep dan seksi segala? Kalau Annika dengar dan malah salah paham, gimana? Pasti aku yang disalahin. Dianggap menggoda dan sebagainya. Lagian, dia kira aku senang dikasih komplimen norak gitu? Tetap aja, perbuatan dia di masa lalu, nggak bisa kulupain gitu aja. Dulu, Jonas itu jahat banget, Ken."

"Sejahat apa?" tanya Kennan ingin tahu. Dia kembali mengekori Febe yang sedang menuju kursi rotan. Perempuan itu menduduki kursi yang tadi ditempati Kennan. Membuat Kennan pun mengambil tempat di seberangnya. Febe akhirnya meminum teh pahit yang dibawa suaminya. Tadi pagi, Kennan baru tahu jika perempuan ini tidak pernah menambahkan gula ke dalam tehnya.

"Diledek dan dikatain nggak ngaca karena suka sama dia, itu udah kayak menu harian di sekolah. Kadang dia sengaja lewat depan kelasku bareng teman-temannya. Tiap kali ngeliat aku, mulai deh mereka ngeledek." Febe meletakkan gelas ke atas meja. Wajahnya mendung. "Dia juga pernah nyiram air sirup ke seragamku pas di kantin. Berpura-pura nggak sengaja. Gitu-gitu deh. Pokoknya, Jonas itu bikin aku merasa sekolah itu udah nggak jauh beda sama neraka. Untungnya aku termasuk tahan banting. Kalau nggak, mungkin udah harus konsul sama psikolog gara-gara ulah mereka."

Kennan bisa membayangkan situasi yang harus dihadapi Febe meski dia tak pernah dirisak saat sekolah. "Harusnya tadi kamu tonjok pas dia mulai sok-sokan merayu."

"Nggak sempat karena pahlawanku keburu datang. Kamu."

Febe sudah terlihat rileks lagi. Buktinya, sudah kembali menyindir Keenan. Tadi, Kennan datang ke studio tanpa maksud apa pun. Dia hanya membawakan teh untuk Febe yang pasti capek setelah satu jam penuh menjadi instruktur senam. Menurut Dila, istri Kennan itu selalu minum teh pahit hangat setelah kelasnya bubar. Karena itu, dia berinisiatif membawakan minuman untuk Febe. Nyatanya, baru melewati ambang pintu studio, dia sudah mendengar percakapan yang tergolong tidak layak antara laki-laki yang akan menikah dengan teman lamanya.

"Lain kali, tiap kali ada laki-laki yang ngegombalin kamu kayak tadi, bungkam mulutnya. Minimal, lempar pakai botol aqua. Jangan beraninya cuma sama aku doang."

Febe akhirnya tersenyum. "Ide bagus." Perempuan itu tiba-tiba mengernyit. "Ken, itu... soal tempat tidur. Aku lupa, padahal kemarin udah bilang mau beli yang baru. Besok kamu bisa temenin aku? Mumpung masih cuti."

"Kenapa harus ditemenin? Bukannya keberatan, sih. Cuma pengin tau aja."

"Yah, aku kan nggak tau kamu maunya yang kayak gimana. Siapa tau seleraku beda sama yang kamu suka."

Seharusnya, ingatan tentang semua yang dilakukan Irina saat memilih perabotan untuk rumah yang sedianya akan mereka tempati, tidak menyerbu ingatan Kennan. Namun, dia tak berdaya membendung memori sekian bulan lalu itu.

Irina tidak pernah meminta opininya saat mengurusi masalah furnitur yang mengisi rumah itu. Kennan tidak menyalahkan perempuan itu karena dia sendiri yang membebaskan Irina untuk membuat pilihan. Akan tetapi, tampaknya Febe tidak menganut paham yang sama.

"Kennan, kok malah bengong gitu, sih?" tegur Febe.

Otak Kennan bekerja dengan cepat. "Oh, soal selera, ya? Kamu serius mempertimbangkan apa yang aku suka?"

Febe menatapnya dengan curiga. "Iya."

"Kalau gitu, nggak usah diganti tempat tidurnya. Udah bagus, kok."

"Tuh, kan? Kalau kamu udah balik nanya, aku harus waspada."

Kennan tertawa. Febe benar-benar perempuan lucu yang membuat laki-laki itu ingin selalu mengusilinya. "Aku serius. Tempat tidurnya nggak ada masalah, Fe. Cuma kurang gede dikit. Tapi harusnya itu nggak jadi persoalan. Karena aku baru tau kalau ternyata tidur sambil meluk kamu itu justru bikin nyenyak."

"Astaga! Kamu nggak lagi ngegombalin aku, kan?" tuduh Febe dengan bibir mengerucut.

"Nggaklah. Aku cuma mau bikin kamu ngomel. Lucu soalnya."

"Ya ampun! Dulu, aku selalu mikir kalau kamu itu tipe anak manis yang..."

Kennan menukas, "Anak manis? Kamu bilang aku anak manis? Aku udah terlalu tua untuk masuk kategori itu. Bulan depan umurku genap tiga puluh tahun, Fe. Nggak ada manis-manisnya lagi. Tapi ya okelah, anggap aja itu pujian. Artinya, di matamu aku ini kayak remaja. Imut dan menggemaskan."

"Nih orang memang sableng," maki Febe dengan wajah memerah.

Mereka bertengkar setelahnya. Ralat, Febe mengomel panjang dan Kennan lebih banyak terkekeh geli. Hingga akhirnya Febe malah ikut menertawakan adu mulut mereka yang kekanakan.

"Fe, ini aku nanya serius. Apa kamu sering digangguin sama pasangan klienmu kayak Jonas tadi?" Tatapannya ditujukan pada pakaian olahraga yang dikenakan Febe.

"Kenapa? Dari tadi nanya itu melulu. Kamu ikut-ikutan kayak orang di luar sana yang nyalahin pakaian perempuan?" sergah Febe sewot. "Atasanku memang tanpa lengan, tapi bukan yang model bra. Bawahannya pun melewati lutut. Kalau masalah pas badan, ya namanya juga baju senam. Kalau pakai daster, malah susah bergerak."

Kennan geleng-geleng kepala. "Kamu memang paling suka bikin tuduhan jelek buatku. Aku nggak komen soal pakaianmu. Cuma, kalau kamu sering ngalamin kayak tadi, mending bikin larangan yang jelas. Yang bukan klienmu dilarang masuk ke studio. Kecuali aku."

"Kenapa kamu harus diistimewakan?" Alis Febe berkerut.

"Karena aku suami yang punya studio ini. Masa iya diusir juga?" balas Kennan enteng. Lalu, dia berubah serius saat mengimbuhi kata-katanya. "Kamu harus mempertimbangkan kata-kataku tadi. Soal larangan masuk untuk nonklien."

"Oke. Aku juga kepikiran, sih. Karena memang nggak nyaman aja jadinya. Cara Jonas ngeliatin aku, bikin nggak nyaman."

Kennan adalah laki-laki, jadi dia paham alasan Jonas. Namun, bukan berarti Jonas bebas memelototi perempuan yang mengenakan pakaian senam dengan mulut dipenuhi air liur. Apalagi mengingat pria itu akan menikah dan Febe adalah istrinya, Kennan menjadi jengkel. Itu hal yang wajar, kan?

Ketika mereka kembali ke rumah, Dila sudah menyiapkan makan malam. sementara Rosita sedang menonton televisi di ruang keluarga, bersebelahan dengan dapur. Kennan menemani ibu mertuanya sementara Febe mandi.

"Ken, dari kemarin Ibu sebenarnya pengin ngomong sesuatu. Tapi waktunya nggak cocok," ucap Rosita, beberapa detik setelah lelaki itu duduk di sebelah kanannya.

"Soal apa, Bu?" tanya Kennan dengan dada mendadak berdebar.

"Febe. Sebenarnya, Ibu nggak setuju dia nikah sama kamu untuk menggantikan Irina. Tapi, situasinya memang nggak memungkinkan untuk..."

"Nggak usah dibahas lagi, Bu. Masalah itu udah lewat," gumam Kennan hati-hati.

"Ibu mikirin Febe. Anak itu terlalu banyak berkorban untuk Ibu. Kadang, dia sampai nggak peduli sama diri sendiri." Rosita mendesah. "Ibu minta satu hal sama kamu, Ken. Walau nggak cinta sama Febe, tolong jangan bikin dia kecewa dan sakit hati."

Kennan menjawab tanpa pikir panjang. "Tentu, Bu. Sekarang, Febe adalah istri saya. Ibu nggak usah cemas. Saya nggak akan bikin dia menderita." Saat kalimatnya tuntas, Kennan baru menyadari jika dia mengucapkan kata-katanya dengan sungguh-sungguh.

"Makasih, Ken. Ibu percaya kamu akan nepatin janji. Sekali lagi, Ibu minta maaf karena gagal mendidik Irina. Kalau nanti dia pulang, Ibu harap kamu bisa bersikap tegas."

Kennan menahan diri agar tidak menarik napas dengan tajam saat mendengar nama Irina dilisankan. Bukan karena dia jengkel pada ibu mertuanya. Melainkan karena kadang dia masih belum pulih dari sakit hati dan marah tiap kali mengingat perempuan itu.

"Tentu, Bu. Saya dan Febe udah komit, kami nggak akan main-main walau nikah tanpa cinta. Kami percaya, bisa sukses membangun rumah tangga."

Lagu : Wrong Impression (Natalie Imbruglia)

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now