Dipanggil, Eric menolehkan kepalanya sekilas. "Tidak, terima kasih. Aku akan pulang jam sebelas ... mungkin. Jangan khawatir, aku sudah biasa pulang dari sini pukul satu atau dua malam. Jalanan masih ramai."

"Kau keberatan?" Minho menghadap ke arahku. Tentu aku keberatan! Ia pun semestinya tahu. Tapi, aku tahu Minho pasti sengaja membuatku tidur sekamar dengan Aera Eonni.

"Ani," sahutku cepat. Aku buru-buru menghampiri Eric dan menjitak kepalanya pelan. "What are you searching for?"

"Snack and beer. You must be hiding it from Jason or Minho or me."

Aku memutar bola mataku kemudian memutar tubuh menuju laci dapur. Tempat di mana aku menyimpan pelataran dapur yang besar seperti panci dan wajan.

Aku mengeluarkan beberapa camilan ringan dan tiga kaleng bir dari sana. "Here ... share it with Bang Chan."

"Pintar sekali kau menyembunyikan barang berharga," sahut Eric.

"Ini bukan barang berharga. Kau saja yang tidak mau repot-repot beli," sahutku sebal.

Eric tersenyum lebar. "Kalau bisa meminta, untuk apa beli? Lagi pula, kau takkan mungkin minum, kan?"

"Whatever," sahutku malas. "Bawa sana ... jangan di depan Jason."

Eric tersenyum lebar. Ia membawa camilan dan bir yang kukeluarkan lalu mengajak Bang Chan minum di balkon. Minho ikut bergabung, kubiarkan saja sementara aku langsung berkutat di dapur memasak makan malam—meski sudah terlambat.

"Masak apa?"

Sebelum menoleh, sepasang tangan sudah melingkari bahuku. Aku mengedikkan bahu, berusaha menyingkirkannya.

"Sana ... kau baru minum bir."

"Sedikit," sahutnya kemudian menyandarkan kepala di bahuku. "Sejak datang sendiri kita tidak pernah punya waktu berdua."

Ia menghela napas berat. "Pernah sekali waktu aku berharap Jason tidur siang supaya aku bisa menonton televisi denganmu. Sayang, dia sangat aktif sampai-sampai tidak pernah tidur siang."

"Lihat saja bagaimana appa-nya. Tidak bisa diam," ledekku.

Ia langsung menegakkan tubuh meski tangannya masih melingkariku. "Aku diam, tahu! Kalau ini baru tidak bisa diam!"

Minho memulai aksinya dengan menggelitik tubuhku. Aku tertawa sambil bergerak mundur, berusaha menghindarinya. Namun Minho tidak mau diam dan semakin gencar menggelitikku. Membuat kami sama-sama jatuh terduduk di sudut dapur. Masih tertawa dan terlibat aksi saling menggelitik.

"Hya ... kalian berdua tidak ingat umur?"

Aku dan Minho berhenti sejenak. Napas kami tak beraturan. Entah kenapa begitu saja sudah lelah meski sangat menyenangkan. Begitu menoleh, Aera Eonni berdiri di dekat pantry. Jason berada dalam gendongan, namun matanya ditutupi Aera Eonni.

"Mwo?" tanya Minho. "Kami juga butuh hiburan."

Usai mengatakan itu, ia kembali menggelitikku. Tak siap, aku pun pasrah dan hanya tertawa. Aera Eonni menghela napas. Suara langkahnya terdengar menjauh.

"Hentikan ... aku lelah," keluhku.

Minho terkekeh geli. "Sudah tua."

"Kalau aku tua kau juga, tahu!" protesku. "Usiamu jauh lebih tua."

Cruel Destiny [Stray Kids Imagine Project]Where stories live. Discover now