chapter 9 : jealousy

129 25 3
                                    

-Corbyn POV-

"Corbyn," Carissa berbicara setelah sejak tadi hanya memberikan tatapan tak percayanya padaku. "Kalau boleh kuberitahu, terkadang aku merasa seperti aku baru mengenal Daniel kemarin dan sudah mengenalmu selama bertahun-tahun alih-alih sebaliknya."

Yeah, i can tell that you're totally right, alam bawah sadarku mendahului.

Aku memikirkan kembali ucapan Carissa. Ia memang mengenal Daniel selama bertahun-tahun lamanya. Tetapi ia juga mengenalku, bahkan dalam waktu lama. Ia jelas mengingat hampir semua detail tentangku dan cepat atau lambat, ia akan menemukan detail-detail itu tidak ada pada diri Daniel. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Hei," suara Carissa terdengar lebih tinggi. "Kau tidak menjawabku."

"Tidak ada apa-apa," balasku. "Tidak usah dipikirkan. Lebih baik kau lanjutkan scenemu bersama Jonah."

Carissa menganggukkan kepalanya lantas menghampiri Silena dan Zach. "Guess who's back?" serunya.

***

Kalau boleh jujur, sebenarnya suara Zach menggangguku. Kuhargai ia memang melakukan tugasnya sebagai sutradara, tetapi di sisi lain suaranya juga memecah konsentrasiku. Aku gugup karena ini adalah pertama kalinya aku berakting di tempat umum selama perjalanan karirku menjadi seorang aktor—tepatnya baru beberapa hari yang lalu. Tanganku dingin karena berdiri terlampau dekat dengan Carissa dan suara Zach nyaris memecah konsentrasiku.

"Get her hair, Corbyn!" seru Zach.

Aku mengikuti aba-aba Zach, tangan kananku segera meraih rambut Carissa yang tertiup angin dan menyelipkan rambut tersebut ke belakang telinganya. Ia tidak melepaskan matanya dariku, ini terlalu nyata. Caranya menatapku membuat perutku mulas, ia benar-benar pandai melakukan aktingnya.

Belum selesai sampai di situ, Carissa mendekapku erat sekarang. Aku tidak bisa melakukan yang lain selain balas memeluknya dan mengusap kepalanya karena tuntutan naskah. Aku harus bisa melakukannya sebaik Carissa. Hubungan kami di dalam film berbeda dengan hubungan kami di kehidupan nyata. Di depan kamera, aku mencintainya.

Carissa mulai meneteskan air matanya dalam pelukanku. Seraya terus menggumamkan kata maaf dan mengatakan aku mencintaimu, ia tidak berhenti menangis. Aku berusaha menenangkannya dengan terus membelai rambutnya, meyakinkan dirinya kalau ia tidak perlu khawatir lagi. Aku ada bersamanya.

Akhir cerita, aku mengatakan bahwa mulai sekarang, kami akan melewati semuanya bersama, apapun yang terjadi. Aku menangkup kedua pipinya, menghapus air matanya, dan mengecup keningnya. Aku hampir lupa mengatakan dialogku, namun Carissa mengeratkan genggamannya pada bajuku sehingga membuatku sadar.

"Selesai," ujar Silena membuat kami melepaskan pelukannya. Kehangatan tubuh Carissa tergantikan dengan hembusan angin dalam sekejap.

Ia beranjak meninggalkanku, mengambil sebotol air, lalu duduk di atas handuk yang kami gelar dan menegak air di botolnya sementara aku tidak bergerak dari tempatku berdiri. Satu-satunya hal yang kulakukan adalah terus memerhatikan Carissa.

Aku mengerjapkan mataku dan segera beranjak ketika aku menyadari Carissa terkekeh karena memehatikanku yang sedari tadi tidak bergerak sedikitpun dari tempatku. Ia menepuk-nepuk ruang yang masih kosong di sebelahnya, kuanggap itu sebagai isyarat agar aku duduk di sebelahnya.

"Apa?" aku bertanya setelah menempatkan diriku di atas handuk.

Carissa mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuat tubuhku refleks merespon dengan cara menjauhinya. "Tetap di tempatmu! Aku hanya mau berbisik," ia berkata disela-sela giginya. Tangannya memegangi kedua sisi bahuku sebelum beralih untuk membentuk corong di sekitar mulutnya. "Lihat itu," ia berbisik.

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Where stories live. Discover now