chapter 4 : magic word

211 43 31
                                    

-Carissa POV-

"Kupikir kita harus selesaikan naskahnya hari ini," ujar Zach, seorang teman yang dikatakan Silena di telepon. Aku ingat aku pernah melihatnya menghadiri sebuah event sama denganku.

Aku terkekeh. "Ya, harus. Sudah cukup bergelut dengan ide dan skrip selama tiga hari."

"Tiga?" tanya Silena. "Kupikir satu ditambah satu itu cuma dua. Benar, tidak, Zach?"

"Aku tiga," balasku. "Aku memulai lebih dulu dari pada kalian."

"Tentu saja, kau benar—seperti biasa."

Aku beruntung karena teringat Silena hari itu, teman internet—tidak, sahabat internet yang sudah lama kukenal lewat sebuah komunitas sinematografer. Saat aku bicara dengannya di telepon, pikiran kami langsung terhubung bahkan ketika aku baru menyebut dua kata kunci, yaitu kompetisi dan New Jersey. Ia mengatakan ia sangat ingin mengikuti kompetisi itu tetapi tidak punya cukup orang untuk bekerja sama dengannya.

Makanya, ketika aku mengajaknya bergabung bersamaku, ia langsung setuju. Bahkan ia membicarakan beberapa ide cerita yang dipikirkannya saat itu juga, semangatnya benar-benar melebihi semangatku.

Aku mengandalkan Silena dan Zach untuk masalah belakang layar sementara aku menyetujui permintaan Daniel untuk menjadi aktrisnya. Usulannya hari itu membuatku merindukan sekolah teaterku sekaligus membangkitkan semangat nekat dalam diriku.

Aku tahu aku tidak seharusnya melakukan ini, tetapi usulan Daniel benar-benar membuatku tertarik. Sebenarnya, aku memilih menjadi sinematografer karena aku tidak diizinkan orang tuaku untuk menjadi aktris film. Mereka menyatakan ketidaksetujuannya saat aku sudah mantap memutuskan untuk terjun ke dunia film selepas sekolah. Mereka tidak pernah mengatakan alasannya. Setiap aku bertanya, mereka selalu berbelit-belit. Tetapi aku tidak ingin melawan mereka.

Ini akan menjadi kompetisi pertama di mana aku berperan sebagai aktrisnya, bukan di belakang layar. Bukannya aku tidak senang menjadi seorang sinematografer, aku menyukai pekerjaanku. Hanya saja aku ingin mewujudkan mimpiku. Selain itu, aku berharap aku bisa membuktikan pada orang tuaku bahwa aku bisa menekuni keduanya, baik yang dapat dilihat orang lain maupun tidak.

"Aku jadi penasaran," ujar Silena. "Apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan untuk berpindah haluan menjadi aktris? Padahal kau sangat berbakat dalam sinematografi, prestasimu tidak sedikit."

"Sebenarnya aku lebih dulu mengenal akting daripada sinematografi," aku memberitahu.

"Tunggu," sela Zach. Tadinya kupikir ia tidak mendengarkan percakapanku dan Silena karena ia sibuk mengetik skrip. "Aku ingin meminta pendapat kalian untuk bagian akhir filmnya."

"Happiness is the richest thing we will ever own, eh?" aku langsung teringat kalimat Donald Duck yang dikutip Corbyn beberapa hari yang lalu. "Jadi, jangan pernah meninggalkan apa yang menjadi kebahagiaan hanya untuk sebuah impian."

"Dan akhir dari ceritanya adalah tokoh yang diperankan Carissa akan kembali pada Corbyn," Silena menyimpulkan. "Karena ia sadar, meskipun pada akhirnya ia bisa menggapai mimpinya, tetapi tanpa Corbyn, ia tidak sempurna—ia tidak bahagia."

"Wow. I can tell that you both are really amazing!"

"Ya," Silena menyetujui. "That's why you're nothing without us."

Kami tertawa bersama setelahnya.

Silena memintaku menceritakan bagaimana aku tertarik pada akting dan aku memberitahunya bahwa aku pernah mendaftar sekolah teater pada saat kelas 5 dan menceritakan beberapa pengalamanku mengikuti pentas drama di sekolah. Aku juga mengatakan bahwa aku pernah bermimpi menjadi aktris. Tetapi alih-alih mengatakan kalau orang tuaku tidak menyetujuiya, aku memilih untuk mengatakan bahwa hal itu membuatku berubah pikiran untuk menekuni sinematografi.

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang