chapter 11 : classic you

122 21 0
                                    

-Carissa POV-

Aku membanting diriku ke sofa di rumah Corbyn sementara pemiliknya sibuk dengan ponsel di seberangku. Aku baru saja pulang dari lokasi kedua tempat pengambilan gambar untuk proyek musim panasku bersama rekan-rekan timku, melakukan tugasku sebagai sinematografer di balik kamera.

Sebenarnya aku ingin beristirahat setelah menyelesaikan proses syuting film pendek kami, tetapi aku aku harus membantu Corbyn mengedit separuh filmnya sekarang. Karena besok aku memiliki janji dengan pengelola lokasi ketiga untuk membicarakan pengambilan gambar untuk proyek timku. Aku tidak akan bisa membantunya, jadi aku memutuskan untuk membantunya sekarang.

"Kutebak, kau baru saja pulang?" ujar Corbyn.

Aku mengangguk. "Lihat bahkan aku masih membawa ini," aku menunjukkan bungkusan cokelat berisi bagel yang baru kumakan tiga perempat bagiannya. Aku membelinya bersama Daphne untuk makan siang dan belum menghabiskannya.

"Thought you want some lemonade," balasnya.

Aku mengangguk lagi. "Jika kau punya, maka ya."

"Tunggu sebentar," Corbyn bangun dari tempat duduknya dan pergi menuju ke dapur.

Karena bosan, aku merogoh saku jeans untuk mengeluarkan ponselku. Tetapi benda itu tidak kunjung menyala karena kehabisan daya. Sekarang apa yang bisa kulakukan?

"Corbyn?" panggilku disusul sahutannya dari arah dapur. "Kau punya charger?" seruku.

"Ada di kamarku," ia balas berteriak. "Kau ambil saja, ada di atas meja!"

"Kau tidak keberatan aku masuk ke kamar tidurmu?" tanyaku lagi.

"Aku tahu kau memerlukan itu secepatnya," kekehnya masih dari dapur. "Lagipula tidak ada apa-apa di kamarku."

"Oke," gumamku lantas berdiri meninggalkan ruang tengah menuju kamar tidur Corbyn. Pintunya bahkan tidak tertutup rapat, membuatku yakin kalau ia tidak pernah menyembunyikan apapun di dalam ruangan pribadinya.

Aku langsung mengambil charger ponsel yang terletak di atas tumpukan kertas di meja. Meskipun aku punya kesempatan, aku tidak tertarik membaca kertas-kertas itu karena ada sesuatu yang lebih menarik perhatianku. Tepat di hadapanku, di atas meja, terdapat bookshelf dengan deretan buku dongeng klasik.

Corbyn? Membaca dongeng klasik?

Aku membaca satu persatu judulnya. Aku sudah membaca hampir semuanya, dari Pinocchio, Sleeping Beauty, hingga Little Red Riding Hood. Melihat buku-buku di rak miliknya seperti melihat buku-buku milikku. Hanya beberapa buku memiliki sampul berbeda, mungkin karena waktu cetakan yang berbeda.

"Carissa, kenapa lama sekali? Apa yang sedang kau-" suara Corbyn berhenti ketika mendapatiku sedang memandangi bookshelf miliknya.

Aku beralih menatapnya. "Kenapa banyak sekali buku dongeng?"

Aku sangat yakin kalau aku melihat ekspresi terkejut di wajahnya tadi. Namun raut wajahnya berubah sekarang, ia terkekeh. "Itu bukan masalah besar," balasnya masih menunjukkan deretan gigi rapinya. "Aku suka membaca dongeng klasik."

Entah dari mana munculnya, tetapi aku tiba-tiba teringat Daniel. Ketika kami saling mengirim e-mail dulu, ia juga sering menyebutkan tentang dongeng-dongeng klasik yang tidak pernah lekang oleh waktu.

Jadi, mengapa semua orang menyukai hal yang sama denganku sekarang?

"Oh," hanya itu yang keluar dari mulutku sebagai balasan dari jawabannya.

"Apa kau sudah menemukan chargernya?" tanyanya membuyarkan seluruh lamunanku.

Aku mengangguk.

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Onde histórias criam vida. Descubra agora