Wajah Febe memerah tapi perempuan itu tidak langsung mengomel. Beberapa detik kemudian, barulah Febe membuka mulut. "Aku pengin marah tapi di sisi lain aku berusaha paham sama kesulitanmu. Nggak bisa bayangin paniknya ditinggal calon istri." Febe terdiam selama lima denyut nadi. "Tapi aku bisa jamin, kami beneran nggak tau alasan Irina atau di mana dia ngumpet sekarang ini. Kamu kira aku lebih milih ngelindungi dia dibanding kesehatan ibuku? Sekarang ini kondisi Ibu nggak oke, dan itu bikin aku cemas setengah mati."

Serta-merta Kennan pun teringat saat Rosita pingsan. Tanpa dikehendaki, otaknya membandingkan kondisi Febe dan dirinya. Lydia memang sakit dan sempat harus diopname, sekarang ini pun kondisinya belum membaik. Akan tetapi, perempuan itu diurusi oleh semua anggota keluarga. Sementara Rosita, hanya memiliki Febe dan Dila.

"Aku nggak bermaksud ngejelek-jelekin, tapi tingkah kayak gini udah bukan hal baru buat keluarga kami. Irina sering kabur kalau lagi ngambek. Kamu pasti nggak tau itu, kan?"

Kening Kennan berkerut. Ini memang berita baru baginya. "Oh, ya? Sejak kapan?"

"Kabur seharian sih udah biasa sejak SMA. Irina baru balik malam hari. Pas kuliah, dia mulai berani nggak pulang berhari-hari. Aku dan Ibu udah capek ngasih tau. Dulu, Bapak pernah marah banget sama Irina, tapi ya gitu. Anaknya nggak kapok."

Kennan seolah baru saja ditinju berkali-kali, tepat di ulu hati. Mengapa dia tidak mengetahui semua itu? Di matanya, Irina adalah perempuan hebat yang pantas untuk dilimpahi cinta tanpa syarat.

"Kamu kaget banget," simpul Febe. "Maaf, aku bukannya mau bongkar rahasia adikku sendiri. Bukan nggak solider. Tapi, aku nggak mau kamu nyalahin aku dan Ibu. Seolah-olah bersekongkol sama Irina. Yang ada, kami pun sama kaget dan kecewanya kayak keluargamu, Ken." Perempuan itu berdeham. "Kemarin itu mamamu jelas-jelas nyalahin Ibu. Aku sebenarnya pengin ngomong tapi nggak mau bikin semua makin kacau. Lagian, Ibu udah ngelarang sebelumnya."

Ya, Kennan tentu saja masih ingat apa yang terjadi seminggu silam. "Aku minta maaf. Mamaku memang kecewa dan sedih banget gara-gara masalah ini. Kemarin sempat masuk rumah sakit. Sekarang pun masih belum fit." Kali ini, permintaan maafnya benar-benar tulus.

"Sakit apa?" respons Febe.

"Stres kayaknya. Mamaku kan orang yang berusaha banget jaga nama baiknya. Mungkin sampai tahap terobsesi. Tau-tau ada kejadian kayak gini, bisa ngebayangin gimana, kan?" Kennan tersenyum pahit. Dia kembali meraih botol minumannya. Ini adalah percakapan paling panjang dengan Febe sejak mereka saling kenal.

"Aku beneran minta maaf atas nama keluargaku ya, Ken. Kalau tau kejadiannya bakal kayak gini..." Febe berhenti lagi. Suara desahnya terdengar berat. "Ah, percuma berandai-andai. Udah kejadian. Lagian, Irina bukan tipe orang yang bisa dilarang kalau udah punya kemauan. Tapi, kukira dia udah berubah. Karena dia bisa bertahan sama kamu hampir dua tahun. Itu hubungan paling panjang yang pernah dijalani Irina tanpa putus-sambung. Apalagi dia setuju untuk nikah. Nyatanya, aku salah."

Kalimat Febe membuat Kennan tersentuh dengan cara yang tidak diperkirakannya. Perempuan itu terlihat tulus. Hal itu membuat Kennan bertanya-tanya, mungkinkah selama ini dia sudah salah menilai Febe?

"Jadi, apa rencanamu, Ken? Semua udah dibatalin? Gedung, katering, dan semua tetek bengeknya? Eh iya, dari kemarin aku belum nanya. Berapa biaya yang harus kami ganti?"

"Biaya?" Kennan kebingungan.

"Iya, biaya resepsi dan perintilannya. Irina sih bilang dia udah beresin masalah itu, cuma minta ditambahin dikit sama Ibu. Padahal, Ibu udah nyiapin dana untuk acara itu, cuma kata Irina nggak perlu. Sisanya kamu yang nanggung. Tapi, kan tetap..."

"Semua udah diberesin dan udah pasti hangus karena resepsinya batal." Kennan gagal membuat suaranya terdengar datar. Nada tajam justru mencuat. "Kamu kira aku ke sini untuk ngomongin soal duit, ya?" tudingnya tanpa basa-basi.

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now